Terkadang, sebenarnya
bukan terkadang, tapi selalu, aku selalu heran ketika suatu rencana yang dibuat
manusia bisa hancur begitu saja oleh makhluk bernama ‘takdir’. Aku pernah
mendengar sebuah pernyataan yang berbunyi: ‘semua yang terjadi pada kita 80%
adalah akibat perbuatan kita, 18% kondisi, dan 2% sisanya adalah takdir’. Jika dikaji
lebih dalam, persentase tadi sebenarnya seimbang karena masing-masing pengaruh
materi sesuai dengan kekuatannya. Biasanya kita baru memperhatikan komposisi
ini ketika keadaan tak sesuai dengan yang kita inginkan. Dan ‘takdir’, sebagai
persentase terkecil selalu menjadi kambing hitam paling empuk, jika kita sudah
tak bisa lagi menyalahkan kondisi dan perbuatan kita sebagai persentase yang
lebih besar.
Takdir, dengan
persentase yang begitu rendah, bisa menjadi faktor kuat pengubah kejadian. Kita
pasti menyadari itu ketika keadaan tak sesuai dengan apa yang kita inginkan.
Bagaimana mungkin hanya dengan sedikit sentuhan takdir, rencana yang hampir
sempurna sekali pun bisa porak-poranda? Itulah mengapa kubilang takdir itu
kuat. Dengan pengaruhnya yang begitu besar, lalu, apakah kita bisa bilang
takdir jahat?
Istilah ‘takdir’ diciptakan hanya agar manusia bisa menerima apa
yang tak bisa dikehendakinya. Tepatnya, agar manusia punya sesuatu untuk
disalahkan pada akhirnya jika kehendaknya tak terlaksana.