Melangkah. Berlari.
Melangkah. Berlari lagi. Kemudian berhenti.
Ada waktunya kau harus
terus berlari, tapi kau juga harus sadar kapan waktunya berhenti.
Saya keluar dari kereta
dengan langkah setengah terseret. Siang hari, dan Stasiun Tanah Abang sangat
ramai.
“Tahu tempat sol
sepatu, Pak?” tanyaku pada satpam di pintu keluar.
Dia tak langsung
menjawab. Tapi terlebih dahulu memandangi muasal langkahku yang terseret. Sol
sepatu kiri menganga seperti kelaparan.
“Kenapa sepatu kamu?”
tanyanya.
“Nah, itu dia,”
jawabku. “Saya harus ke tukang sol sepatu. Bapak tahu tempatnya?”
“Lurus, naik tangga,
lalu keluar. Tukang sol ada di dekat musholla dan toilet.”
Aku mengangguk dan
berterima kasih, lalu berjalan menuju arah yang ditunjukan si satpam. Masih
langkah terseret akibat sepatu kiri sialan yang rusak di saat yang tidak tepat
ini.
Hanya butuh lima menit
sampai akhirnya saya menemukan tukang sol sepatu yang satpam beritahu tadi.
Sebuah piring dan gelas yang sudah kosong terlihat di atas meja. Si tukang
nampaknya baru selesai makan siang. Dan seperti juga satpam yang tadi, si
tukang pun langsung sadar dengan sol sepatu kiriku yang menganga. Semuanya
kemudian berjalan cukup cepat.
Sat set bat bet. Sat
set bat bet
Tak sampai setengah
jam, sepatu kiriku sudah terjahit rapi. Kembali normal dan nyaman dipakai
seperti semula.
“Berapa, Pak?”
“Nggak usah,” dia
menggeleng.
“Yang bener, Pak?”
“Sudahlah. Bawa saja.
Gratis.”
“Pak. Saya punya uang,
kok,” suaraku mulai meninggi.
“Berapa?”
“Nggak apa-apa. Gratis.
Sungguh.”
“Oke. Bapak yang
memaksa. Tapi saya mesti tahu alasannya.”
“Alasan apa?”
“Alasan kenapa gratis.”
“Untuk pemilik
kaki-kaki yang tak pernah berhenti mengejar cinta, saya kasih gratis, jawab si
tukang enteng .
Mendadak saya penasaran
dengan menu si tukang sol saat makan siang tadi.