Jadi begini, Sayang..” ucapku pada perempuan yang
duduk di depanku. Seperti dulu, dia tersenyum malu-malu, namun tetap cantik. “Aku..”
“Sebentar,” potongnya. Bibirnya tetap tersenyum. Matanya
tetap memandang lurus ke arah mataku. “Kenapa masih manggil sayang?”
lanjutnya. “Kita sudah sepakat enggak ada apa-apa lagi kan sekarang?”
“Oke. Maaf,” balasku singkat. Tak ada waktu untuk
berdebat lebih jauh lagi perkara panggilan sayang ini. “Begini.. Waktuku enggak
banyak. Jadi tolong. Toloong banget. Dengerin sebentar.”
Dia mengangguk.
“Jadi begini, Diz. Aku tahu ini terdengar gila
dan agak tak masuk akal,” lanjutku. Tapi pasti kamu percaya.”
“Udah buruan jelasin!”
“Oke. Kamu udah nonton Days of Future Past?”
“Udah.”
“Kalau Edge of Tomorrow?”
“Film Tom Cruise yang kalau dia mati, dia balik lagi
ke masa lalu? Udah juga..”
“Nah!” ujarku seraya menjentikan jari. “Jadi aku
enggak perlu menjelaskan panjang lebar lagi bahwa aku datang dari masa depan
untuk memperbaiki sesuatu. Aku datang dari masa depan cuma untuk ketemu kamu.”
“Baik! Balasnya. “Aku juga akan mencoba langsung
percaya. Next, apa tujuan kamu balik
ke sini cuma buat ketemu aku? Mau minta maaf? Ngajak balikan?”
“Bukan..”
“Lalu?”
“Aku pengen bantuin kamu. Kamu ingat gak pernah
bilang ke aku kalau cinta itu harus dicari?
“Ingat. Terus? Apa hubungannya sama kamu mau bantuin
aku?” Dia menatapku kesal.
“Kamu salah. Cinta itu bukan dicari, tapi diraih.” Balasku
mengimbangi nada bicaranya yang meninggi.
“Di masa depan,” sambungku. “Aku akhirnya jadian
sama mantan gebetanku yang anak Bahasa Inggris. Setelah sekian kali gagal, aku akhirnya
bisa dapetin dia.”
Dia menatapku sebentar. Lalu memalingkan wajahnya
sambil menghela nafas.
“Di masa depan, kamu masih saja terus terusan
mencari tanpa mendapatkan hasil.” Ucapku pelan.
“Cinta hanya tentang saling menemukan, Diz.”
“Tapi bagaimana kalau keduanya sama-sama ingin
ditemukan? Siapa yang akan mencari?”
“Kadang cinta cuma tentang menunggu waktu yang
tepat.”
“Kalau bisa menunggu, kenapa harus mendatangi?”
“Kalau bisa mendatangi, kenapa harus menunggu?”
“Maksud kamu ngajak aku ngobrol sebenarnya apa sih!”
Jelas sekali kalau dia sudah tidak mampu menahan
emosinya.
“Cobalah kamu agar sedikit lebih dewasa.” Nada bicaranya
turun. Campuran antara kesal dan ingin menangis.
“Diz,” ucapku pelan. Kutatap mata-nya dalam-dalam, “Liat
aku.. Dengerin aku sebentar..”
Dia menurut dan mengangguk.
“Diz..” sambungku lagi.
“Kita balikan yuk?”
No comments:
Post a Comment