“Kalungnya bagus,”
ucap ku sambil tersenyum.
Mataku bergerak ke kalung yang menempel tepat
di atas dadanya. Perempuan cantik yang duduk di depanku itu menghisap rokoknya
dalam-dalam, menghembuskan asapnya dengan nikmat. Samar aroma menthol memenuhi
udara.
“Kau tahu,” ujarnya.
“Baik buruknya
perempuan sebenarnya bisa dilihat dari matanya. Tapi sayang kebanyakan pria
lebih memperhatikan dada.”
“Oh ya?” tanyaku.
Buru-buru aku mengalihkan pandangan.
Namanya Tyas. Tyas
sudah menjadi sahabatku semenjak semester pertama kuliah, hingga kini kami
sudah memasuki semester akhir. Kebanyakan orang pasti merasa heran jika tahu
kami cuma berteman, tapi memang begitulah kenyataannya. Kami cuma merasa aneh
jika kisah persahabatan bertahun-tahun ini harus berubah menjadi kisah
percintaan sepasang lelaki dan perempuan.
Semacam ada kesepakatan
tak tertulis diantara kami berdua bahwa kami tidak akan berpacaran. Selain itu
juga ada hal lain yang membuat kami tidak bisa bersama. Bahwa Tyas sudah
memiliki kekasih, dan hal lain yang lebih rumit. Kami berbeda agama. Tyas
seorang Katholik taat, dan saya walaupun bukan seorang Muslim yang taat, tahu
jika hal seperti ini akan menjadi masalah yang rumit di masa yang akan datang.
Malam itu di kedai kopi
langganan kami di daerah Mangkunegaran, Tyas curhat tentang pacarnya. Dia baru
putus.
“Begitulah,” dia
tersenyum tipis tanpa beban.
“Kami sudah berpacaran
hampir dua tahun. Yang terlama dibanding pacar-pacarku sebelumnya. Pacaran
jarak jauh, komunikasi tiap hari cuma lewat telepon dan video call,
kangen-kangena dan berantem juga jarak jauh.”
“Tapi menurutku
Solo-Jogja bukan LDR.” Potong ku.
“Kok bisa?”
“Disebut LDR jika dan
hanya jika jarak dua kota memakan waktu 6 jam lebih perjalanan darat, atau
lebih dari 500ribu untuk tiket pesawat.”
Dia tersenyum.
“Jarak ternyata memang
bisa menjadi musuh berbahaya ya?”
“Sama sekali tidak,”
aku menggeleng tegas. “Musuh terbesar sebuah hubungan adalah curiga dan rasa
tidak percaya.”
“Teorinya memang
seperti itu. Mengatakannya memang mudah, tapi menjalaninya sama sekali tidak
mudah.”
“Aku enggak bilang itu
mudah sih..”
“Sulit,” bibirnya yang
basah kembali menghembuskan asap beraroma menthol.
“Mejalaninya lebih
sulit. Faktanya, kedekatan psikologis ternyata memang membutuhkan kedekatan
fisik.”
Sebuah nada dering
kemudian terdengar. Ada panggilan masuk di handphone-nya. Dari sudut mataku
kulihat dia hanya diam memandangi nama yang tertera di layar, sebelum kemudian
jarinya menekan tombol reject.
“Mantan pacar kamu?”
Dia mengangguk.
“Dia selau begitu.
Kembali disaat yang tidak tepat. Hanya untuk meminta maaf dan mengatakan
hal-hal yang tidak penting.”
“Apa susahnya memberi
maaf?”
“Ini lebih dari itu.
Kamu enggak akan mengerti.” Dia kemudian mematikan rokok mentholnya.
“Kita cari tempat
ngobrol lain yuk?”
“Dimana?”
“Ke kosan kamu aja,
yuk? Aku capek, ngantuk, pengen rebahan.”
“Kamu mau ke kosanku?”
“Iya. Kayaknya sekalian
nginep deh. Aku males pulang.”
“Kamu mau nginep di
kosanku?”
“Iya. Gimana?”
Secepat kilat setan di
kepalaku mengirim sinyal yang menyuruhku mengangguk dan bilang iya. Aku
menggenggam tangannya. Dari speaker kedai kopi, suara Adam Levine terdengar
melengking di entah refrain keberapa. Biasanya aku benci lagu ini. Tapi kali
ini tidak.
And
then when the daylight comes I’ll have to go
But
tonight I’m gonna hold you so close
Cause
in the daylight we’ll be on our own
But
tonight I need to hold you so close