Sebelum mulai
bercerita, ada baiknya saya menyampaikan beberapa hal kecil ini. Orang bilang
saya terlalu lemah pada perempuan. Mereka bilang saya terlalu mudah jatuh
cinta. Beberapa sisanya bilang saya tidak bisa membedakan sayang, perhatian
berlebih, nafsu, dan cinta.
Sebenarnya saya tidak
pernah benar-benar paham makna semua itu tadi. Kalian boleh saja menganggap
saya tidak pernah mengerti arti cinta sesungguhnya. Tapi lantas kenapa? Kalau
saya dan perempuan yang saya cintai saling memberi dan menjaga hati, bukankah
hal-hal lain bisa dipikirkan belakangan? Dengan cinta, kita bisa lakukan semua.
Dengan cinta, tak ada yang tak seru. Semua kita jalani bersama. Pahit manisnya,
hitam putihnya, baik dan buruknya. Sesederhana itulah pemikiran saya tentang cinta.
Hingga malam itu pacar
saya mengajak bertemu. Sebenarnya ini bukanlah hal yang luar biasa kalau
di malam minggu seperti ini dia mengajak saya bertemu. Biasanya kami menonton
film di bioskop, sering juga cuma sekedar makan malam sederhana di rumahnya, lalu
menonton film, dan begitu jarum menunjuk angka 10, saya pun berpamitan pulang.
Tapi kali ini beda. Dia
mengajak saya bertemu di toko kaset. Saya sering sekali lewat daerah sini, tapi
entah kenapa baru sekarang saya sadar kalau disini ada toko kaset.
“Kenapa semalam enggak
menelepon?” pacar saya akhirnya membuka pembicaraan.
“Aku banyak kerjaan,
sayang.”
“Tapi pulsa juga
banyak, kan?”
“Semalam aku menelepon
kok. Kamu sudah tidur.”
“Kenapa enggak telepon
lebih awal?”
“Oh. Jadi ini yang
bikin kamu seharian jadi diem gak jelas?”
“Yang enggak jelas itu
kamu!”
Oke. Ini dia. Pacar
saya yang tukang ngambek ini mengeluarkan kalimat-kalimat yang menjurus kearah
pertengkaran kecil dan tidak penting. Tidak, tidak. Saya tidak boleh
terpancing. Saya harus membujuknya. Saya harus meminta maaf. Mengajaknya makan
mungkinlah hal yang bagus. Siapa tahu setelah kenyang dia berkurang marahnya.
“Kita makan dulu, yuk?”
“Enggak mau.”
Rupanya dia setingkat
lebih ngambek sekarang.
“Kita makan nasi
goreng, yuk?”
“Nggak.”
“Ayam bakar deh.”
“Nggak.”
“Roti bakar! Roti
bakar!”
“Nggak.”
“Ceker dherr?”
“!@#$%^&*”
Jadi inilah akhirnya.
Pacar saya yang cantik, tukang ngambek, dan suka membuat orang bingung itu
balik kanan, kemudian berjalan meninggalkan saya yang kebingungan tanpa sepatah
kata pun.
“Saatnya ku berkata.
Mungkin yang terakhir kalinya.”
Ah ya. Toko kaset ini
memutar lagu yang tepat disaat yang kurang tepat. Ini lagunya Peterpan bukan?
Kalau tidak salah lagu ini muncul sekitar tahun 2004, atau 2005 ya? Saya
tidak ingat.
“Lagu ini,” tanyaku
pada gadis yang sedari tadi berdiri dibalik meja kasir. “Apa judulnya?”
“Mungkin Nanti,
Peterpan.”
“Hmm..”
“Mungkin saja kau bukan
yang dulu lagi,” gadis itu bersenandung pelan mengikuti lagu.
“Mungkin saja rasa itu
telah pergi,” lanjutku sambil tersenyum.
Aku membalikan badan
dan mulai berpikir untuk mengejar pacarku yang mungkin belum jauh dari sini.
Masih terdengar jelas suara gadis penjaga kasir itu menyanyikan bait pertama
reff lagu Mungkin Nanti.
“Dan mungkin bila
nanti, kita kan bertemu lagi.”
No comments:
Post a Comment