Semesta, aku bisa
bilang apa?
Jika yang kau tunjukan
padaku mentah-mentah adalah realita paling nyata.
Bahwa rasa ini tak ada
harganya.
Bahwa ingin ini hanya
kosong yang dijumawakan.
Sesungguhnya semua
biasa saja, bias saja. Hanya soal aku dan rasaku saja. Bukan rasa yang dia
punya. Dia tak punya rasa.
Dikatakan berkhianat
pun tak bisa, dia tak punya rasa. Dibagikan kepada siapapun terserah saja.
Terserah
dia. Lalu aku tertawa. Tertawa bersama semesta.
Menertawakan rasaku
yang tak terhingga nilainya. Rasa yang terlalu berharga untuk dibuang. Rasa untuk
siapa?
Well.. tanggal itu lewat lagi, 28 Juni.
Banyak orang yang heran
dengan apa yang saya lakukan. Bahwa saya terlalu sering menyebut namanya, bahwa
saya masih sangat peduli kepadanya walaupun sebenarnya itu sudah sangat
dilarang, bahwa saya sering menempatkan diri saya sebagai lelaki yang tidak
bisa pindah.
Tapi, itulah cara saya
menertawakan hidup. Itulah cara saya membuat hidup lebih seru. Bukankah saya
pernah bilang kalau saya sudah 200% move on. Saya juga sadar kalau kesempatan
untuk mendapatkanya lagi sudah sangat tertutup, bahkan sudah tidak ada
kesempatan lagi.
Kebanyakan orang move
on dengan cara yang sederhana, mencari yang baru kemudian mencoba hidup bahagia
kembali. Sesederhana itu.
Mungkin cara saya mengikhlaskan sudah berada di
level berbeda. Dengan menjadikan apa yang sudah terjadi sebagai lelucon, bukan sesuatu
yang harus dilupakan. Apalagi untuk dikutuk.
What’s hurt
you the most, will be your funniest joke. Sungguh tak ada sedikitpun
keinginan dihati saya untuk memilikinya sekali lagi. Tapi saya tetap butuh dia,
butuh dia untuk membuat saya tetap konsisten patah hati.
Dengan patah hati, saya
bisa membuat banyak tulisan. Dengan patah hati, saya bisa membuat banyak
lelucon. Dengan patah hati saya bisa menghasilkan kata-kata indah. Bukankah tidak
ada hal sia-sia jika kita melakukan apa yang kita senangi?
Lalu aku bisa bilang
apa? Kecuali menyimpan semua rasa yang kupunya untukku saja.
Bukan untuk
siapa-siapa, seperti kata semesta.
Agar harganya menjadi
semakin mahal untuk kujumawakan, karena rasa yang aku punya terlalu tinggi
nilainya, kata semesta.
Jadi... Semesta, sampai
kapan?
Sampai aku lupa bahwa
aku pernah punya rindu. Meskipun itu mustahil.
Bagaimana mungkin aku
melupakan sesuatu yang berasal dari hati.
Hati tak punya otak,
dan hanya otak yang bersifat melupakan.
Jadi... Semesta,
selamat ulang tahun.