Hari sudah mendekati maghrib,
suasana kantornya sudah sangat sepi. Aku memilih duduk di teras, bukan di lobby
kantornya. Tentu agar tetap bisa merokok. Kau tahu? Selain makanan pedas,
menunggu dalam kesendirian adalah hal yang paling kubenci. Ada 2 cara agar
waktu menunggu jadi sedikit tidak terasa. Yang pertama tentu saja merokok, yang
kedua mendengarkan musik. Sebatang rokok kunyalakan, sebelah earphone
kutancapkan ke lubang telinga kanan. Di dalam ruang dengarku, suara Adam Levine
pelan-pelan merambat ke simpul otak.
Please, don’t see..
Just a boy caught up in dreams and fantasies..
Kuberitahu satu hal lagi. Selain
makanan pedas dan menunggu dalam kesendirian, masa lalu adalah hal nomor tiga
yang paling kubenci. Oke. Baik. Mungkin tidak seperti itu. Karena kebencianku
sebenarnya hanyalah pada hal-hal yang berhubungan dengan penyesalan. Aku
membenci penyesalan, dan tak habis pikir dengan orang-orang yang menjalani
hidupnya dengan meratap dan menyesal. Tak pernah ada kata menyesal dalam kamus
hidupku. Yang sudah biarlah sudah, yang lewat biarlah lewat, yang gagal bisa
kita perjuangkan lagi, yang menemui jalan buntu berarti bukan takdir kita,
dan.. ya kira-kira seperti itulah. Kecewa boleh, menyesal jangan. Kurang lebih
demikian dalam kalimat lebih singkat.
Sekarang kuceritakan kenapa aku
berada di tempat ini. Di teras sebuah bank di sekitaran Pasar Gedhe, jam saat
jalanan Solo sedang lucu-lucunya, dan ufuk barat sedang cantik-cantiknya.
Seperti yang tadi kukatakan, aku sedang menunggu. Perempuan, mantan pacarku,
yang lucunya mungkin sama dengan jalanan Solo saat ini, namun cantiknya
mengalahkan ufuk barat kali ini.
Pagi tadi dia mengirim pesan dan
meminta tolong kepadaku untuk menjemputnya pulang. Mobilnya rusak dan sedang
masuk bengkel.
Sebenci-bencinya aku dengan
makanan pedas, menunggu dalam kesendirian, dan berurusan dengan penyesalan atau
masa lalu, toh aku belum sanggup mengatakan tidak kepada mantan pacarku yang
satu ini. Akhirnya dengan berat hati, namun tetap dengan lagak sok cool,
akhirnya kututup percakapan dengan dua huruf : OK. Cuma OK. Tanpa embel-embel
moji, emotikon, atau bahkan titik.
OK
Suara langkah kaki dan colekan
kecil di pundak menghentikan lamunanku. Seperti yang sudah kukira, mantan
pacarku masih lucu dan cantik. Meski senyumnya kali ini tentu saja berbeda
dengan senyumnya saat dulu kami masih bersama. Tak ada jabat tangan, tak ada
peluk, dan tanpa cium pipi. Hanya senyuman yang mau tak mau tetap membuatku
membalasnya.
“Yuk,” ucapnya singkat.
Aku berjalan menuju tempat
motorku diparkir. Api rokok di tanganku semakin mendekati pangkalnya. Suara
Adam Levine di telingaku mendekati akhir lagu. Perlahan aku ikut bersenandung
mengikuti suara falsetnya. “And I thought
I saw you out there crying.”
“And I thought I heard you call my name.” sambungnya.
No comments:
Post a Comment