Sore di Stasiun. Saya menunggu kereta yang akan membawaku ke Malang. Disana (seharusnya) menjadi
tempat liburan ku bersama kekasih. Ya, ‘seharusnya.’ Malangnya, memang hubungan
kami telah berakhir. Walaupun begitu, saya tetap memutuskan untuk berangkat. Sendirian.
Padahal dua bulan lalu hubungan kami baik-baik saja, bahkan
kami sudah mempersiapkan matang-matang rencana liburan ini. Sudah pesan tiket
kereta, pesan kamar hotel, sampai membuat list
tempat-tempat yang akan kami tuju.
Sebulan setelah itu, dia
meninggalkanku begitu saja. Penyebabnya entah apa. Alasannya entah apa.
Setannya entah siapa. Ternyata dia menganggap ku tidak serius. Katanya, saya sama
saja dengan lelaki kebanyakan yang suka tebar pesona sana-sini. Saya diam.
Semarah apapun kamu waktu itu, saya diam. Saya tak ingin membela diri. Saya tak
ingin menjelaskan apapun. Karena memang tak ada yang perlu dijelaskan.
Dua minggu yang lalu, saya baru tahu kalau dia cemburu.
Perempuan yang dia curigai itu, Tyas namanya. Saya tidak tahu setan mana yang
membuatnya berpikir antara saya dan Tyas ada apa-apa. Padahal dia kenal Tyas.
Bahkan sebelum kita jadian, dia tahu kalau saya berteman dengan Tyas. Tapi
pikir ku, mungkin itu hanya alasannya saja.
Mungkin sebenarnya dia
sudah bosan, mungkin dia telah bertemu laki-laki lain yang lebih baik.
Entahlah, lagi pula saya juga kehilangan kabar tentang dia. Saya juga tidak
mencoba berusaha mencari tahu, buang-buang waktu. Bukankah cinta adalah
perjuangan dua pihak. Jika cuma satu pihak saja yang berjuang, untuk apa harus
diperjuangkan lagi. Pikirku.
Lalu sebatang rokok
kunyalakan, sebelah earphone kutancapkan ke lubang telinga kanan. Belum ada
lagu yang keluar dari sana, saya masih merenung. Memikirkan kembali hal-hal yang
telah terjadi. Seperti masih ada sesuatu yang mengganjal di dada. Sesak.
Mungkin saya memang
merindukannya. Sosok perempuan bermata indah yang senang sekali memakai kardigan
berwarna biru laut dan sangat menyukai kopi dan tulisan-tulisan Rowling, Coelho
atau pun Murakami. Yang senang sekali bercerita tentang cahaya yang tak pernah
padam. Yang sangat menyukai kisah sepasang kekasih yang berharap mati ditabrak
bus tingkat itu. Yang selalu larut pada cerita seorang lelaki yang meninggalkan
kekasihnya dengan pesawat jet. Yang percaya bahwa cahaya akan menuntunnya
pulang.
Tanpa sadar, saya telah
memutar sebuah lagu. Iwan Fals.
“denting
piano saat jemari menari...”
Tak lama setelah itu kereta
yang ku tunggu akhirnya datang. Saya memutuskan untuk menghabiskan rokok yang sudah mendekati pangkalnya itu. Saya pun mengambil keputusan. Setelah pulang dari
Malang, mungkin saya akan mencarinya lagi, mencoba memperbaiki semua yang telah
terjadi, dan mungkin juga memintanya kembali lagi padaku. Bukankah memang sudah
seharusnya jika laki-laki harus berjuang lebih keras dari wanita?
Saya lalu masuk ke
gerbong kereta. B-12, begitu yang tertera di karcis. Saya berjalan menyusuri
gerbong ditemani suara Iwan Fals. Beberapa saat kemudian saya menemukan tempatku duduk, disebrangnya sudah duduk seorang wanita.
Berkardigan biru laut,
menyeruput kopi dari gelas plastik, dipangkuannya ada buku “Hear the Wind Sing
and Pinball” karangan Murakami. Mata indah wanita itu menatap mataku. Suara
Iwan Fals juga telah mendekati akhir lagu.
“pernah
ku mencoba tuk sembunyi..”
Namun senyummu tetap
mengikuti. Lanjutku pelan.
No comments:
Post a Comment