Babak kedua. Injury
time. Lebih kurangnya 90+3 menit.
Bola dari corner kick
David Beckham langsung disambut Ole Gunnar Solskjaer dan mengguncang gawang
Oliver Kahn. Separuh stadion bergemuruh, separuhnya tertunduk, sisanya terdiam
takjub seakan tidak percaya. Solskjaer berteriak histeris dan berlari ke
pinggir lapangan, sebelum akhirnya staf dan pemain-pemain di bangku cadangan
ikut menyerbu dan memeluknya. Di depan gawangnya, Peter Schmeichel tersenyum
melihat kejadian itu dari jauh.
Di kubu lawan, Samuel
Kuffour tak bisa menyembunyikan tangisnya. Lothar Matthaeus, pemain yang sudah
diganti di menit 80 tak kalah terpukul. Memang sulit dipercaya. Gol cepat Mario
Basler di menit ke enam jadi sia-sia akibat gol Sheringham dan Solskjaer di
injury time. Pierluigi Collina meniup peluit tanda permainan harus dilanjutkan.
Tapi mental para pemain Bayern Munchen sudah hancur lebur. Keadaan tak berubah
sampai peluit akhir usai. Pemain dan pendukung Bayern Munchen hanyut dalam air
mata. Secara dramatis, Manchester United menjadi juara Liga Champions
1998-1999.
Itu kejadian saat saya
masih kecil.
Pertandingan yang saya
tonton bersama Ayah, orang yang mengenalkan saya pada bola, mempengaruhi saya
agar menjadi pendukung Manchester United. Hal-hal itu berhasil, saya mulai
tertarik pada sepakbola dan menyukai Manchester United.
Saya tumbuh besar
bersama Manchester United. Saya masih ingat jersey Manchester United pertama
yang dibelikan oleh ayah, nomor 19 milik Dwight Yorke.
Saat SMA, saya memiliki
kekasih. Namanya Linda. Kulitnya putih, rambut panjang, perawakannya langsing
dan cukup tinggi untuk wanita seumurannya. Dia fans Barcelona, pada saat itu
Barcelona memang sedang jaya. Tapi kisahku bersama Linda tak berakhir bahagia,
dia meninggalkanku begitu saja. Saya marah, saya kesal, saya kecewa, saya patah
hati. Kemudian saya mulai membenci hal-hal yang disukainya, dan saya pun mulai menyimpan
dendam.
Malam menjelang subuh,
beberapa hari setelah saya putus dengan Linda.
Saya menatap layar Televisi
di ruang keluarga, gambar yang ditampilkan belum bisa saya lupakan hingga
sekarang. Pertandingan final Liga Champions.
Barcelona
2-0 Manchester United
Eto’o
10’, Messi 20’
Entahlah. Wajah Linda,
orang yang beberapa hari lalu memutuskan hubungan kami secara sepihak itu
seperti ada dilayar dan tertawa terbahak-bahak. Bersorak-sorak atas kemenangan
Barcelona. Tentu saja ini sangat menyebalkan untuk saya.
Ini adalah dendam
pertama saya kepada Barcelona.
Dua tahun berlalu,
Manchester United kembali mencapai final Liga Champions. Saat itu pertandingan
diselenggarakan di stadion Wembley, stadion yang dibanggakan rakyat
Inggris. Bermain dirumah sendiri tentu
saja akan memotivasi pemain-pemain Manchester United, apalagi pada final
sebelumnya mereka dikalahkan lawan yang sama. Barcelona.
Bukankah dendam harus
dibalas?
Tapi kenyataan berkata
lain. Di rumah sendiri, Manchester United kembali menelan kekalahan.
Barcelona
3-1 Manchester United
Pedro,
Messi, Villa – Rooney
Tiga gol Barcelona cuma
bisa dibalas sekali oleh Rooney. Kecewa dan sakit hati. Ini menjadi dendam saya
yang kedua.
Saat saya duduk
dibangku kuliah, perlahan saya juga mulai menyukai Real Madrid. Selain karena
Real Madrid adalah musuh bebuyutan Barcelona, pemain idola saya di Manchester
United yaitu Cristiano Ronaldo juga telah pindah ke Real Madrid. Pada saat itu
saya juga telah mempunyai gebetan baru, namanya Tyas. Masih setipe dengan
mantan pacar yang terdahulu. Rambut panjang, kulit putih, langsing, tapi
bedanya kali ini Tyas tidak terlalu tinggi.
Memang kami belum jadian, tapi akan sangat aneh sekali jika menyebut
kami hanya sebatas teman.
Malam itu Tyas
mengajakku bertemu untuk membicarakan sesuatu. Hubungan kami memang sedang tidak
baik.
“Maaf,” Tyas sambil
menatap mata saya dalam-dalam. Saya diam dan mencoba menebak-nebak kalimat
selanjutnya.
“Kayaknya kita cukup
sampai sini aja, kita enggak usah ketemuan lagi,” lanjutnya. Pelan, tapi sudah
cukup untuk membuat kuping dan dada saya seperti meledak.
“Baik,” saya mengangguk
tanpa banyak berkata-kata lagi, menjabat tangannya, kemudian berjalan pergi
tanpa menengok kebelakang. Sesuai dugaan saya sebelumnya. Sesuai
pertengkaran-pertengkaran kecil kami belakangan ini. Dia, - perempuan yang beberapa
menit lalu masih saya jadikan prioritas utama – akhirnya memilih pergi. Kembali
menjalin hubungan dengan mantan pacarnya,..
seorang fans Barcelona.
Saat ini saya memang
sudah memaafkan mantan gebetan saya itu. Saat ini juga saya sudah 200% move on
dan tidak peduli dengannya. Namun saya tak habis pikir. Kenapa Barcelona, - dan
hal-hal yang berhubungan dengannya bisa menghadirkan 3 kali kesialan dalam
hidup saya?
Untungnya sekarang saya
sudah punya pacar baru. Namanya Adis. Berbeda dengan wanita-wanita sebelumnya,
Adis berambut pendek, berkaca mata, tidak terlalu putih, juga tidak kurus,
walaupun akan keterlaluan jika menyebutnya gemuk. Dan ternyata, Adis juga
seorang fans Real Madrid.
Bukankah dendam harus
dibalas?
No comments:
Post a Comment