Gerimis seringkali menjadi sumber inspirasi.
Apalagi kalau ini malam minggu, kau sendirian di kedai kopi yang isinya orang pacaran, headphonemu ketinggalan, telingamu pasrah dengan Closer yang diputar berkali-kali.
Gerimis di luar jadi semakin menginspirasi. Menginspirasimu melakukan hal yang kurang penting. Dan inilah yang kulakukan sekarang; menutup laptop, meraih handphone, membuka Instagram beberapa orang. Semuanya perempuan tentu saja. Salah satunya mantan pacarku. Menonton IG Stories mereka, mengirim komen yang sebenarnya tak bisa dibilang komen juga. Karena cuma berupa tiga biji emoji tertawa sambil menangis. Niatannya tentu cuma satu hal: caper. Semenit. Dua menit. Tiga menit. Ting! Ting! Ting! Ting! Ting! Ting! Ting! Tujuh pesan masuk. Balasannya tak ada sesuai harapan. Iseng dan caper yang berbalas basa-basi. Emoji dibalas emoji. Tidak penting. Saking tidak pentingnya hingga tak perlu diceritakan di sini. Enam menit. Delapan menit. Sepuluh menit. Ting! Aku melirik layar handphone. Sebaris pesan, bukan dari inbox Instagram, tapi dari Whatsapp. “Haaaaaiiiii!” Yang ini dari si mantan rupanya. Beberapa pengecut enggan move on seringkali menghapus nama mantannya setelah putus, atau menggantinya dengan nama yang aneh-aneh. Tapi tentu saja itu tak kulakukan. Nama mantan pacarku masih tertulis lengkap di phonebook. Nama indah yang dulu sering kusebut sama cantiknya dengan senyumnya itu. “Yaa” Tadinya ingin kubalas dengan “Haaaaaaaiiiiiiiii” yang lebih panjang lagi. Tapi naluri kelaki-lakianku melarang. Jadinya cukup “Yaa” saja. Bahkan di saat seperti ini pun aku masih berusaha sok cool. “Apa kabar, Wis?” Hore! Dia yang menanyakan kabar duluan. Otakku langsung berpikir keras. Mencari-cari jawaban paling pas. Terlalu lama. Pesan berikutnya keburu masuk. “Apa kabar, Moy? Eh.. Aku manggil apa ya enaknya?” Ini dia. Dua pesan berturut-turut. Memang sebenarnya nggak ada bedanya. Tapi tak tahu apa penggalan yang tepat untuk nama “Wismoyo”, itu soal lain lagi. Secepat kilat jari-jariku mengetik pesan balasan. “Memang dulu manggilnya apa?” Lima menit. Sepuluh menit. Tak ada balasan. Aku mulai khawatir jika dia tidak akan membalas.
Sampai akhirnya..
“Dulu sih manggilnya sayang.” Gerimis di luar tiba-tiba menjadi hujan deras. Kalau gerimis bisa menginspirasimu melakukan hal kurang penting, mungkin hujan kali ini akan mengajakmu melakukan hal yang tidak-tidak. |
Saturday, 10 December 2016
Sebuah Malam Minggu
Sunday, 11 September 2016
Berlari
Melangkah. Berlari.
Melangkah. Berlari lagi. Kemudian berhenti.
Ada waktunya kau harus
terus berlari, tapi kau juga harus sadar kapan waktunya berhenti.
Saya keluar dari kereta
dengan langkah setengah terseret. Siang hari, dan Stasiun Tanah Abang sangat
ramai.
“Tahu tempat sol
sepatu, Pak?” tanyaku pada satpam di pintu keluar.
Dia tak langsung
menjawab. Tapi terlebih dahulu memandangi muasal langkahku yang terseret. Sol
sepatu kiri menganga seperti kelaparan.
“Kenapa sepatu kamu?”
tanyanya.
“Nah, itu dia,”
jawabku. “Saya harus ke tukang sol sepatu. Bapak tahu tempatnya?”
“Lurus, naik tangga,
lalu keluar. Tukang sol ada di dekat musholla dan toilet.”
Aku mengangguk dan
berterima kasih, lalu berjalan menuju arah yang ditunjukan si satpam. Masih
langkah terseret akibat sepatu kiri sialan yang rusak di saat yang tidak tepat
ini.
Hanya butuh lima menit
sampai akhirnya saya menemukan tukang sol sepatu yang satpam beritahu tadi.
Sebuah piring dan gelas yang sudah kosong terlihat di atas meja. Si tukang
nampaknya baru selesai makan siang. Dan seperti juga satpam yang tadi, si
tukang pun langsung sadar dengan sol sepatu kiriku yang menganga. Semuanya
kemudian berjalan cukup cepat.
Sat set bat bet. Sat
set bat bet
Tak sampai setengah
jam, sepatu kiriku sudah terjahit rapi. Kembali normal dan nyaman dipakai
seperti semula.
“Berapa, Pak?”
“Nggak usah,” dia
menggeleng.
“Yang bener, Pak?”
“Sudahlah. Bawa saja.
Gratis.”
“Pak. Saya punya uang,
kok,” suaraku mulai meninggi.
“Berapa?”
“Nggak apa-apa. Gratis.
Sungguh.”
“Oke. Bapak yang
memaksa. Tapi saya mesti tahu alasannya.”
“Alasan apa?”
“Alasan kenapa gratis.”
“Untuk pemilik
kaki-kaki yang tak pernah berhenti mengejar cinta, saya kasih gratis, jawab si
tukang enteng .
Mendadak saya penasaran
dengan menu si tukang sol saat makan siang tadi.
Thursday, 28 July 2016
Tertawa Bersama
Siapa bilang cinta tak
pernah salah.
Cinta menghancurkan
sebuah hubungan dengan caranya sendiri.
Cinta bisa berubah
menjadi penghancuran, perkelahian, hingga ledakan.
Cinta yang seharusnya
sederhana, ternyata bisa berubah menjadi bencana.
Kita masih muda, kita
saling cinta, tapi kita tak bisa bersama.
Kapan kita kencan lagi?
Kencan diam-diam hingga
pagi buta. Buta seperti hati kita. Katanya karena efek jatuh cinta.
Jatuh cinta itu apa?
Lalu kita pun tertawa.
Sudah lupa.
Ini hanya kencan biasa,
berupa duduk-duduk bersama dan berbagi cerita. Cerita tentang apa?
Tentang apa saja, asal
tidak tentang cinta.
Cinta itu apa? Sudah
lupa.
Dan kita akan selalu
kembali tertawa, bersama.
Wednesday, 29 June 2016
Semesta
Semesta, aku bisa
bilang apa?
Jika yang kau tunjukan
padaku mentah-mentah adalah realita paling nyata.
Bahwa rasa ini tak ada
harganya.
Bahwa ingin ini hanya
kosong yang dijumawakan.
Sesungguhnya semua
biasa saja, bias saja. Hanya soal aku dan rasaku saja. Bukan rasa yang dia
punya. Dia tak punya rasa.
Dikatakan berkhianat
pun tak bisa, dia tak punya rasa. Dibagikan kepada siapapun terserah saja.
Terserah
dia. Lalu aku tertawa. Tertawa bersama semesta.
Menertawakan rasaku
yang tak terhingga nilainya. Rasa yang terlalu berharga untuk dibuang. Rasa untuk
siapa?
Well.. tanggal itu lewat lagi, 28 Juni.
Banyak orang yang heran
dengan apa yang saya lakukan. Bahwa saya terlalu sering menyebut namanya, bahwa
saya masih sangat peduli kepadanya walaupun sebenarnya itu sudah sangat
dilarang, bahwa saya sering menempatkan diri saya sebagai lelaki yang tidak
bisa pindah.
Tapi, itulah cara saya
menertawakan hidup. Itulah cara saya membuat hidup lebih seru. Bukankah saya
pernah bilang kalau saya sudah 200% move on. Saya juga sadar kalau kesempatan
untuk mendapatkanya lagi sudah sangat tertutup, bahkan sudah tidak ada
kesempatan lagi.
Kebanyakan orang move
on dengan cara yang sederhana, mencari yang baru kemudian mencoba hidup bahagia
kembali. Sesederhana itu.
Mungkin cara saya mengikhlaskan sudah berada di
level berbeda. Dengan menjadikan apa yang sudah terjadi sebagai lelucon, bukan sesuatu
yang harus dilupakan. Apalagi untuk dikutuk.
What’s hurt
you the most, will be your funniest joke. Sungguh tak ada sedikitpun
keinginan dihati saya untuk memilikinya sekali lagi. Tapi saya tetap butuh dia,
butuh dia untuk membuat saya tetap konsisten patah hati.
Dengan patah hati, saya
bisa membuat banyak tulisan. Dengan patah hati, saya bisa membuat banyak
lelucon. Dengan patah hati saya bisa menghasilkan kata-kata indah. Bukankah tidak
ada hal sia-sia jika kita melakukan apa yang kita senangi?
Lalu aku bisa bilang
apa? Kecuali menyimpan semua rasa yang kupunya untukku saja.
Bukan untuk
siapa-siapa, seperti kata semesta.
Agar harganya menjadi
semakin mahal untuk kujumawakan, karena rasa yang aku punya terlalu tinggi
nilainya, kata semesta.
Jadi... Semesta, sampai
kapan?
Sampai aku lupa bahwa
aku pernah punya rindu. Meskipun itu mustahil.
Bagaimana mungkin aku
melupakan sesuatu yang berasal dari hati.
Hati tak punya otak,
dan hanya otak yang bersifat melupakan.
Jadi... Semesta,
selamat ulang tahun.
Thursday, 23 June 2016
Tidak Ada Jaten Hari Ini
Tidak ada Jaten hari
ini.
Tidak ada Jaten
kemarin.
Kau yang panas di
kening. Kau yang dingin dikenang.
Di sini tidak mungkin
kau tersesat karena
payah dalam arah.
Tak ada Manahan yang
kau hindari.
Tak ada Pasar Gedhe
yang kau maki.
Sambil menertawakan hidup,
kita mulai hal yang lebih hidup.
Di dingin malam,
kita akan membicarakan
apa saja.
Manis cinta, rindu
rumah,
mimpi pernikahan,
pilihan sulit,
yang membuatmu
tersenyum hari ini,
hingga yang membuatmu
paling sedih semalam.
Dan cinta—kau tak ingin
aku
mematikan mata lampu.
Jendela terbuka
dan masa lampau
memasuki ku sebagai angin.
Nanti di dasar gelas
yang isinya tinggal
segaris,
kau akan tahu.
Bahwa Jaten adalah
hal nomor dua yang
paling ku suka
setelah senyummu.
Sunday, 5 June 2016
Ketika Hujan
Ketika hujan, satu
pesan “Hai.. Kamu apa kabar?” bisa mengacaukan segalanya.
Pernah kubaca. Kata
‘segalanya’ bisa berarti hati, move on,
janji, atau apa saja. Yang jelas pasti berhubungan dengan hati dan perasaan.
Entah siapa yang menulisnya. Tapi tentu saja saya tidak percaya. Lagipula
belakangan ini saya sudah kehilangan kepercayaan pada kalimat-kalimat puitis
nan romantis.
Memangnya apa yang
romantis dari turunnya hujan?
Tidak ada.
Hujan hanya membuat
genangan dimana-mana. Membuat beberapa ruas jalan menjadi macet, emperan toko
mendadak jadi tempat berteduh, dan orang-orang jadi susah mau kemana-mana.
Alih-alih membuatmu memikirkan mantan, hujan malah membuatmu semakin lapar,
menyesal dan memaki dalam hati karena seharian kau belum makan.
Itu artinya kau hanya
punya tiga pilihan: nekad menerjang hujan, menelepon layanan delivery, atau
puasa sampai besok. Itupun kalau besok hujan sudah reda.
Bagaimana dengan hujan
dan lagu cinta?
Percayalah.
Kenyataannya juga tidak sedramatis itu. Setidaknya bagiku.
Bukan sekedar sekali
dua kali aku mengalami momen kehujanan bersama mantan pacar.
Kehujanan di
Mangkunegaran? Pernah!
Kehujanan di stasiun
dan terminal? Pernah!
Menunggu hujan reda di
emperan toko? Pernah!
Tapi toh hujan kali ini
tetap saja tidak serta merta membuatku memikirkan, apalagi merindukan dia.
*tring*
Satu pesan Whatsapp
masuk. Aku menatap notifikasi pesan yang tertera di layar.
“Kamu
apa kabar?”
Dari speaker laptopku
perlahan mengalun lagu sendu dari Melly Goeslaw.
Kata
orang rindu itu indah
Namun
bagiku ini menyiksa
Sejenak
ku fikirkan untuk ku benci saja dirimu
Namun
sulit ku membenci
Aku sekali lagi menatap pesan di layar:
“Kamu
apa kabar?”
Hujan, pesan dari mantan kekasih, dan lagu cinta.
Apakah sekarang aku terpengaruh? Oh tentu saja
tidak!
*tring*
Aku kembali menatap layar. Satu lagi pesan masuk.
“Saya
rindu kamu”
Dan kali ini saya pun harus mengakui:
Hujan 1 – 0 Saya.
Thursday, 19 May 2016
Lari Dari Senyumnya
Sore di Stasiun. Saya menunggu kereta yang akan membawaku ke Malang. Disana (seharusnya) menjadi
tempat liburan ku bersama kekasih. Ya, ‘seharusnya.’ Malangnya, memang hubungan
kami telah berakhir. Walaupun begitu, saya tetap memutuskan untuk berangkat. Sendirian.
Padahal dua bulan lalu hubungan kami baik-baik saja, bahkan
kami sudah mempersiapkan matang-matang rencana liburan ini. Sudah pesan tiket
kereta, pesan kamar hotel, sampai membuat list
tempat-tempat yang akan kami tuju.
Sebulan setelah itu, dia
meninggalkanku begitu saja. Penyebabnya entah apa. Alasannya entah apa.
Setannya entah siapa. Ternyata dia menganggap ku tidak serius. Katanya, saya sama
saja dengan lelaki kebanyakan yang suka tebar pesona sana-sini. Saya diam.
Semarah apapun kamu waktu itu, saya diam. Saya tak ingin membela diri. Saya tak
ingin menjelaskan apapun. Karena memang tak ada yang perlu dijelaskan.
Dua minggu yang lalu, saya baru tahu kalau dia cemburu.
Perempuan yang dia curigai itu, Tyas namanya. Saya tidak tahu setan mana yang
membuatnya berpikir antara saya dan Tyas ada apa-apa. Padahal dia kenal Tyas.
Bahkan sebelum kita jadian, dia tahu kalau saya berteman dengan Tyas. Tapi
pikir ku, mungkin itu hanya alasannya saja.
Mungkin sebenarnya dia
sudah bosan, mungkin dia telah bertemu laki-laki lain yang lebih baik.
Entahlah, lagi pula saya juga kehilangan kabar tentang dia. Saya juga tidak
mencoba berusaha mencari tahu, buang-buang waktu. Bukankah cinta adalah
perjuangan dua pihak. Jika cuma satu pihak saja yang berjuang, untuk apa harus
diperjuangkan lagi. Pikirku.
Lalu sebatang rokok
kunyalakan, sebelah earphone kutancapkan ke lubang telinga kanan. Belum ada
lagu yang keluar dari sana, saya masih merenung. Memikirkan kembali hal-hal yang
telah terjadi. Seperti masih ada sesuatu yang mengganjal di dada. Sesak.
Mungkin saya memang
merindukannya. Sosok perempuan bermata indah yang senang sekali memakai kardigan
berwarna biru laut dan sangat menyukai kopi dan tulisan-tulisan Rowling, Coelho
atau pun Murakami. Yang senang sekali bercerita tentang cahaya yang tak pernah
padam. Yang sangat menyukai kisah sepasang kekasih yang berharap mati ditabrak
bus tingkat itu. Yang selalu larut pada cerita seorang lelaki yang meninggalkan
kekasihnya dengan pesawat jet. Yang percaya bahwa cahaya akan menuntunnya
pulang.
Tanpa sadar, saya telah
memutar sebuah lagu. Iwan Fals.
“denting
piano saat jemari menari...”
Tak lama setelah itu kereta
yang ku tunggu akhirnya datang. Saya memutuskan untuk menghabiskan rokok yang sudah mendekati pangkalnya itu. Saya pun mengambil keputusan. Setelah pulang dari
Malang, mungkin saya akan mencarinya lagi, mencoba memperbaiki semua yang telah
terjadi, dan mungkin juga memintanya kembali lagi padaku. Bukankah memang sudah
seharusnya jika laki-laki harus berjuang lebih keras dari wanita?
Saya lalu masuk ke
gerbong kereta. B-12, begitu yang tertera di karcis. Saya berjalan menyusuri
gerbong ditemani suara Iwan Fals. Beberapa saat kemudian saya menemukan tempatku duduk, disebrangnya sudah duduk seorang wanita.
Berkardigan biru laut,
menyeruput kopi dari gelas plastik, dipangkuannya ada buku “Hear the Wind Sing
and Pinball” karangan Murakami. Mata indah wanita itu menatap mataku. Suara
Iwan Fals juga telah mendekati akhir lagu.
“pernah
ku mencoba tuk sembunyi..”
Namun senyummu tetap
mengikuti. Lanjutku pelan.
Sunday, 24 April 2016
Pria Dari Masa Depan
“Kelak di masa depan akan ada penemuan luar biasa,” ucapku
kepada wanita cantik yang duduk lesehan di sampingku itu.
Sudah seharian penuh aku bersama wanita ini. Mendekati
malam, lalu lintas di depan Holland Bakery Palur masih sangat ramai. Kendaraan
lalu lalang dari dua arah, macet dan semrawut. Beberapa pejalan kaki di atas
trotoar tampak gelisah buru-buru, samar tercium wangi sate padang yang dibakar
di atas tungku, dan aroma nasi goreng dari gerobak yang mangkal tak jauh dari
situ. Lagu The Scientist dari Coldplay mengalun sendu dari handphone salah satu
pelanggan melengkapi suasana.
“Namanya mesin waktu,” lanjutku tanpa mengalihkan pandangan
dari kedua mata beningnya.
“Dengan itu kamu bisa melakukan sesuatu yang selama ini
hanya menjadi khayalan bagi banyak orang.”
“Melihat masa depan?” tanyanya.
“Bukan,” aku menggeleng.
“Mesin waktu tak diciptakan untuk itu. Bahkan di masa depan
nanti para ilmuwan jenius itu tetap akan membiarkan masa depan menjadi misteri.
Agar hidup tetap berjalan seru dengan segala misterinya. Agar manusia tak
bertindak semaunya setelah melihat masa depan mereka yang indah, juga agar
mereka yang bermasa depan suram tidak dihantui ketakutan yang sia-sia.”
“Lalu apa tujuan diciptakannya mesin waktu?” dia kembali
bertanya.
“Tujuan utama diciptakanya mesin waktu adalah untuk
memperbaiki kesalahan,” lanjutku antusias. “Tapi teknologi itu juga bisa kau
gunakan untuk mengobati rindu, untuk bertemu kembali dengan orang-orang yang
kau cintai. Mungkin juga untuk meminta maaf atas kesalahan yang pernah kau buat, dan masih banyak kegunaan yang lainnya. Yang jelas mesin waktu hanya bisa
berjalan mundur, bukan maju ke masa depan.” Pungkasku panjang lebar.
“Tapi kalau aku menggunakan mesin waktu, aku tetap tak mau
kembali ke masa lalu.”
“Kenapa?”
“Bagiku masa lalu hanya untuk dikenang, atau untuk dijadikan
pelajaran.” Jawabnya.
“Masa depan yang jauh lebih penting. Kalau tadi kamu bilang hidup
tak akan seru saat kita bisa melihat masa depan, bagiku hidup takkan bisa maju
jika kita terus terpaku dan larut dalam penyesalan.
Kali ini aku terdiam. Sebenarnya aku masih ingin
membantahnya, dan meyakinkan dia bahwa mesin waktu untuk kembali ke masa lalu
adalah penemuan yang sangat berguna. Tapi waktuku tinggal sedikit.
“Kamu jika mendapatkan kesempatan untuk memakai mesin waktu,
kamu akan kembali ke zaman kapan?” tanyanya.
“Banyak. Salah satunya mungkin adalah saat-saat bersamamu
seperti ini, Diz.” Jawabku.
Pemilik mata bening itu kembali tersenyum, dan aku semakin
salah tingkah melihatnya. Jantungku berdegup lebih kencang, pikiranku mendadak
kacau.
“Jadi begini...”
Belum sempat aku menyelesaikan sebuah kalimat, tiba-tiba
cahaya putih kebiruan menerpaku, dan semua disekitarku mulai memudar. Earphone
yang terpasang ditelinga kananku berbunyi bip..bip pelan, diikuti suara seorang
wanita.
“Maaf, waktu anda telah habis. Terima kasih telah
menggunakan jasa mesin waktu.”
Thursday, 4 February 2016
Dilarang Turun Hujan
Saya duduk menatap
laptop. Di depan saya, dia juga duduk menatap laptop.
Kamu tahu? Banyak orang
mengatakan ini adalah waktu yang tepat untuk berselingkuh. Sore menjelang
senja, di kedai kopi eksotik namun sepi yang letaknya nun jauh dari timur kota.
Di luar , hujan baru saja reda. Pejalan kaki dan pemotor yang tadinya berteduh
itu sudah siap melanjutkan kembali perjalanan mereka.
Saya masih duduk
menatap layar laptop. Dia juga.
Saya punya kebiasaan
kecil. Meski mata menuju ke laptop, earphone saya tetap tertancap ke handphone
dan memutar musik dari sana. Kali ini album X&Y Coldplay. Baru track 3,
White Shadows. Kalau kau hafal tracklist album ini, lagu yang disebut-sebut
punya lirik tulus dan dalam itu akan jadi track berikutnya. Benar. Lagu yang liriknya
seringkali dikutip dan dituliskan di gambar-gambar pemandangan itu. Tak perlu
saya sebutkan judul lagunya kan?
Kemudian barista ramah
itu datang lagi. Membawa seporsi roti bakar dengan aroma madu yang menggugah
selera.
Saya mencuri pandang.
Sedikit. Ke layar iPod kamu yang ternyata juga sedang memutar Coldplay, meski
bukan lagu yang sama dengan lagu yang saya dengar sekarang.
Seperti juga saya,
ternyata kamu punya kebiasaan tak jauh berbeda. Mata dan jari-jari sibuk dengan
laptop, namun earphone memutar musik dari gadget lain.
Saya mengambil sebatang
rokok, kemudian menyalakannya. Selang lima detik, kamu juga melakukan hal yang
sama. Aroma tembakau dan menthol meruap ke udara. Bercampur samar aroma hujan,
harum kopi, dan wangi madu.
Saya tersenyum, kamu
juga tersenyum. Entah apa yang saya dan kamu sedang pikirkan. Selama sekian
jeda, saya dan kamu berada di canggung yang sukar dicerna.
Di luar, hujan mulai
turun lagi.
Jauh di dalam hati,
saya mulai mengagumi betapa cantiknya kamu. Pelan-pelan hati saya jatuh, meski
kepala saya mengatakan tidak boleh lebih jauh.
Sunday, 24 January 2016
Siang Hari
“Kalungnya bagus,”
ucap ku sambil tersenyum.
Mataku bergerak ke kalung yang menempel tepat
di atas dadanya. Perempuan cantik yang duduk di depanku itu menghisap rokoknya
dalam-dalam, menghembuskan asapnya dengan nikmat. Samar aroma menthol memenuhi
udara.
“Kau tahu,” ujarnya.
“Baik buruknya
perempuan sebenarnya bisa dilihat dari matanya. Tapi sayang kebanyakan pria
lebih memperhatikan dada.”
“Oh ya?” tanyaku.
Buru-buru aku mengalihkan pandangan.
Namanya Tyas. Tyas
sudah menjadi sahabatku semenjak semester pertama kuliah, hingga kini kami
sudah memasuki semester akhir. Kebanyakan orang pasti merasa heran jika tahu
kami cuma berteman, tapi memang begitulah kenyataannya. Kami cuma merasa aneh
jika kisah persahabatan bertahun-tahun ini harus berubah menjadi kisah
percintaan sepasang lelaki dan perempuan.
Semacam ada kesepakatan
tak tertulis diantara kami berdua bahwa kami tidak akan berpacaran. Selain itu
juga ada hal lain yang membuat kami tidak bisa bersama. Bahwa Tyas sudah
memiliki kekasih, dan hal lain yang lebih rumit. Kami berbeda agama. Tyas
seorang Katholik taat, dan saya walaupun bukan seorang Muslim yang taat, tahu
jika hal seperti ini akan menjadi masalah yang rumit di masa yang akan datang.
Malam itu di kedai kopi
langganan kami di daerah Mangkunegaran, Tyas curhat tentang pacarnya. Dia baru
putus.
“Begitulah,” dia
tersenyum tipis tanpa beban.
“Kami sudah berpacaran
hampir dua tahun. Yang terlama dibanding pacar-pacarku sebelumnya. Pacaran
jarak jauh, komunikasi tiap hari cuma lewat telepon dan video call,
kangen-kangena dan berantem juga jarak jauh.”
“Tapi menurutku
Solo-Jogja bukan LDR.” Potong ku.
“Kok bisa?”
“Disebut LDR jika dan
hanya jika jarak dua kota memakan waktu 6 jam lebih perjalanan darat, atau
lebih dari 500ribu untuk tiket pesawat.”
Dia tersenyum.
“Jarak ternyata memang
bisa menjadi musuh berbahaya ya?”
“Sama sekali tidak,”
aku menggeleng tegas. “Musuh terbesar sebuah hubungan adalah curiga dan rasa
tidak percaya.”
“Teorinya memang
seperti itu. Mengatakannya memang mudah, tapi menjalaninya sama sekali tidak
mudah.”
“Aku enggak bilang itu
mudah sih..”
“Sulit,” bibirnya yang
basah kembali menghembuskan asap beraroma menthol.
“Mejalaninya lebih
sulit. Faktanya, kedekatan psikologis ternyata memang membutuhkan kedekatan
fisik.”
Sebuah nada dering
kemudian terdengar. Ada panggilan masuk di handphone-nya. Dari sudut mataku
kulihat dia hanya diam memandangi nama yang tertera di layar, sebelum kemudian
jarinya menekan tombol reject.
“Mantan pacar kamu?”
Dia mengangguk.
“Dia selau begitu.
Kembali disaat yang tidak tepat. Hanya untuk meminta maaf dan mengatakan
hal-hal yang tidak penting.”
“Apa susahnya memberi
maaf?”
“Ini lebih dari itu.
Kamu enggak akan mengerti.” Dia kemudian mematikan rokok mentholnya.
“Kita cari tempat
ngobrol lain yuk?”
“Dimana?”
“Ke kosan kamu aja,
yuk? Aku capek, ngantuk, pengen rebahan.”
“Kamu mau ke kosanku?”
“Iya. Kayaknya sekalian
nginep deh. Aku males pulang.”
“Kamu mau nginep di
kosanku?”
“Iya. Gimana?”
Secepat kilat setan di
kepalaku mengirim sinyal yang menyuruhku mengangguk dan bilang iya. Aku
menggenggam tangannya. Dari speaker kedai kopi, suara Adam Levine terdengar
melengking di entah refrain keberapa. Biasanya aku benci lagu ini. Tapi kali
ini tidak.
And
then when the daylight comes I’ll have to go
But
tonight I’m gonna hold you so close
Cause
in the daylight we’ll be on our own
But
tonight I need to hold you so close
Mungkin Nanti
Sebelum mulai
bercerita, ada baiknya saya menyampaikan beberapa hal kecil ini. Orang bilang
saya terlalu lemah pada perempuan. Mereka bilang saya terlalu mudah jatuh
cinta. Beberapa sisanya bilang saya tidak bisa membedakan sayang, perhatian
berlebih, nafsu, dan cinta.
Sebenarnya saya tidak
pernah benar-benar paham makna semua itu tadi. Kalian boleh saja menganggap
saya tidak pernah mengerti arti cinta sesungguhnya. Tapi lantas kenapa? Kalau
saya dan perempuan yang saya cintai saling memberi dan menjaga hati, bukankah
hal-hal lain bisa dipikirkan belakangan? Dengan cinta, kita bisa lakukan semua.
Dengan cinta, tak ada yang tak seru. Semua kita jalani bersama. Pahit manisnya,
hitam putihnya, baik dan buruknya. Sesederhana itulah pemikiran saya tentang cinta.
Hingga malam itu pacar
saya mengajak bertemu. Sebenarnya ini bukanlah hal yang luar biasa kalau
di malam minggu seperti ini dia mengajak saya bertemu. Biasanya kami menonton
film di bioskop, sering juga cuma sekedar makan malam sederhana di rumahnya, lalu
menonton film, dan begitu jarum menunjuk angka 10, saya pun berpamitan pulang.
Tapi kali ini beda. Dia
mengajak saya bertemu di toko kaset. Saya sering sekali lewat daerah sini, tapi
entah kenapa baru sekarang saya sadar kalau disini ada toko kaset.
“Kenapa semalam enggak
menelepon?” pacar saya akhirnya membuka pembicaraan.
“Aku banyak kerjaan,
sayang.”
“Tapi pulsa juga
banyak, kan?”
“Semalam aku menelepon
kok. Kamu sudah tidur.”
“Kenapa enggak telepon
lebih awal?”
“Oh. Jadi ini yang
bikin kamu seharian jadi diem gak jelas?”
“Yang enggak jelas itu
kamu!”
Oke. Ini dia. Pacar
saya yang tukang ngambek ini mengeluarkan kalimat-kalimat yang menjurus kearah
pertengkaran kecil dan tidak penting. Tidak, tidak. Saya tidak boleh
terpancing. Saya harus membujuknya. Saya harus meminta maaf. Mengajaknya makan
mungkinlah hal yang bagus. Siapa tahu setelah kenyang dia berkurang marahnya.
“Kita makan dulu, yuk?”
“Enggak mau.”
Rupanya dia setingkat
lebih ngambek sekarang.
“Kita makan nasi
goreng, yuk?”
“Nggak.”
“Ayam bakar deh.”
“Nggak.”
“Roti bakar! Roti
bakar!”
“Nggak.”
“Ceker dherr?”
“!@#$%^&*”
Jadi inilah akhirnya.
Pacar saya yang cantik, tukang ngambek, dan suka membuat orang bingung itu
balik kanan, kemudian berjalan meninggalkan saya yang kebingungan tanpa sepatah
kata pun.
“Saatnya ku berkata.
Mungkin yang terakhir kalinya.”
Ah ya. Toko kaset ini
memutar lagu yang tepat disaat yang kurang tepat. Ini lagunya Peterpan bukan?
Kalau tidak salah lagu ini muncul sekitar tahun 2004, atau 2005 ya? Saya
tidak ingat.
“Lagu ini,” tanyaku
pada gadis yang sedari tadi berdiri dibalik meja kasir. “Apa judulnya?”
“Mungkin Nanti,
Peterpan.”
“Hmm..”
“Mungkin saja kau bukan
yang dulu lagi,” gadis itu bersenandung pelan mengikuti lagu.
“Mungkin saja rasa itu
telah pergi,” lanjutku sambil tersenyum.
Aku membalikan badan
dan mulai berpikir untuk mengejar pacarku yang mungkin belum jauh dari sini.
Masih terdengar jelas suara gadis penjaga kasir itu menyanyikan bait pertama
reff lagu Mungkin Nanti.
“Dan mungkin bila
nanti, kita kan bertemu lagi.”
Subscribe to:
Posts (Atom)