Saturday 7 April 2012

Aku Mau Pulang

Aku menulis ini sambil mendengarkan Home dari Michael Buble. Tetiba aku merindukan rumah. Bukan rumah lengkap dengan atap dan lantai tempat aku tumbuh, bukan juga yang isinya sebuah ruang berisi furnitur dan barang elektronik tempat aku dan keluarga berdiskusi.
Aku rindu kamu, aku rindu aku, aku rindu kita yang dulu lagi. Aku rindu cinta, yang sejak beberapa waktu lalu, sejak awal kita bertemu menjadi rumah untukku. Ke mana rumah itu sekarang? Atau rumah itu tetap ada tetapi aku yang tak sedang di rumah? Lantas, berada di mana aku saat ini? Kamu di mana?
Banyak yang sudah kita lalui di rumah itu. Tawa, canda, tangis, semua menjadi satu membentuk sebuah bingkai. Aku tak ingin semuanya hanya menjadi bingkai kenangan. Siapa pemilik rumah itu sebenarnya? Aku, atau kamu? Mengapa tak kita miliki bersama saja rumah itu. Kita tinggali bersama.
Atau kamu sudah tidak mau lagi tinggal bersamaku di rumah itu? Aku akui, rumah itu tak sempurna, selalu ada tetesan-tetesan air mata keluar dari atapnya. Tapi juga banyak suara semilir gelak tawa dari jendelanya yang rapuh sesekali melewati sela antara daun telinga. Namun aku tak ingin meninggalkannya, aku tak akan meninggalkannya tanpa kamu. Aku tak ingin rumah yang baru. Yang aku ingin hanya rumah ini, bersama kamu.
Kamu, kembalilah ke rumah. Tak inginkah kamu pulang? Aku mau pulang.

Kamu, Jangan Pergi


Jika kamu pergi, senyum ini untuk siapa lagi? Lalu ke mana larinya lengkung bibir itu? Hanya menyelinap ke dalam pori-pori mimpi?
Jika kamu pergi, ke mana lagi aku layangkan alunan rindu ini? Ke telinga Cupid yang sudah lumpuh menembakkan panah cintanya kepadamu? Ke jari-jari kedinginan yang tak pernah kamu genggam lagi?
Jika kamu pergi, apa lagi yang bisa aku tulis tentang sayang ini? Tentang ketiadaan kamu? Tentang pundak kosong tak berpenghuni yang merindukan sandaran kamu?
Jika kamu pergi, akan aku lipat menjadi apa kertas yang biasa aku buat menjadi burung atau kupu-kupu kesukaanmu? Atau hanya harus kuubah menjadi mawar yang kelopaknya gugur perlahan? Atau harus kubentuk menjadi sebuah nisan yang di atasnya tertulis kenangan kita?
Jika kamu pergi, siapa lagi yang aku tunggu menjadi penyemangat di saat-saat tersulitku? Aku harus menunggu suara burung hantu di tengah malam, seakan mengejek atas segala kekalahanku? Atau cukup ditemani keheningan malam, mendinginkan hati?
Jika kamu tak kembali, apalagi yang pantas aku tunggu mengorbankan sisa waktu hidupku? Menunggu hingga usia menggerogoti jasad ini? Bahkan dengan bantuan rindu, jiwaku tak akan tersisa.
Kamu, jangan pergi.