Sunday 20 September 2015

Aku Kira Aku Mendengarmu Memanggil Namaku

Hari sudah mendekati maghrib, suasana kantornya sudah sangat sepi. Aku memilih duduk di teras, bukan di lobby kantornya. Tentu agar tetap bisa merokok. Kau tahu? Selain makanan pedas, menunggu dalam kesendirian adalah hal yang paling kubenci. Ada 2 cara agar waktu menunggu jadi sedikit tidak terasa. Yang pertama tentu saja merokok, yang kedua mendengarkan musik. Sebatang rokok kunyalakan, sebelah earphone kutancapkan ke lubang telinga kanan. Di dalam ruang dengarku, suara Adam Levine pelan-pelan merambat ke simpul otak.

Please, don’t see..
Just a boy caught up in dreams and fantasies..

Kuberitahu satu hal lagi. Selain makanan pedas dan menunggu dalam kesendirian, masa lalu adalah hal nomor tiga yang paling kubenci. Oke. Baik. Mungkin tidak seperti itu. Karena kebencianku sebenarnya hanyalah pada hal-hal yang berhubungan dengan penyesalan. Aku membenci penyesalan, dan tak habis pikir dengan orang-orang yang menjalani hidupnya dengan meratap dan menyesal. Tak pernah ada kata menyesal dalam kamus hidupku. Yang sudah biarlah sudah, yang lewat biarlah lewat, yang gagal bisa kita perjuangkan lagi, yang menemui jalan buntu berarti bukan takdir kita, dan.. ya kira-kira seperti itulah. Kecewa boleh, menyesal jangan. Kurang lebih demikian dalam kalimat lebih singkat.

Sekarang kuceritakan kenapa aku berada di tempat ini. Di teras sebuah bank di sekitaran Pasar Gedhe, jam saat jalanan Solo sedang lucu-lucunya, dan ufuk barat sedang cantik-cantiknya. Seperti yang tadi kukatakan, aku sedang menunggu. Perempuan, mantan pacarku, yang lucunya mungkin sama dengan jalanan Solo saat ini, namun cantiknya mengalahkan ufuk barat kali ini.
Pagi tadi dia mengirim pesan dan meminta tolong kepadaku untuk menjemputnya pulang. Mobilnya rusak dan sedang masuk bengkel.
Sebenci-bencinya aku dengan makanan pedas, menunggu dalam kesendirian, dan berurusan dengan penyesalan atau masa lalu, toh aku belum sanggup mengatakan tidak kepada mantan pacarku yang satu ini. Akhirnya dengan berat hati, namun tetap dengan lagak sok cool, akhirnya kututup percakapan dengan dua huruf : OK. Cuma OK. Tanpa embel-embel moji, emotikon, atau bahkan titik.
OK   

Suara langkah kaki dan colekan kecil di pundak menghentikan lamunanku. Seperti yang sudah kukira, mantan pacarku masih lucu dan cantik. Meski senyumnya kali ini tentu saja berbeda dengan senyumnya saat dulu kami masih bersama. Tak ada jabat tangan, tak ada peluk, dan tanpa cium pipi. Hanya senyuman yang mau tak mau tetap membuatku membalasnya.
“Yuk,” ucapnya singkat.
Aku berjalan menuju tempat motorku diparkir. Api rokok di tanganku semakin mendekati pangkalnya. Suara Adam Levine di telingaku mendekati akhir lagu. Perlahan aku ikut bersenandung mengikuti suara falsetnya. “And I thought I saw you out there crying.”
And I thought I heard you call my name.” sambungnya.

Saturday 12 September 2015

Kenapa Kamu Meneleponku Hanya Pada Saat Kamu Sedang Mabuk

Berita baiknya adalah, kini aku tak lagi sendiri.

Gadis ini, Dia cantik tentu saja. Tapi bukan cantik yang benar-benar langsung membuatmu jatuh cinta pada pandangan pertama. Butuh cukup waktu untuk memberanikan diri berkenalan dengannya, mengobrol beberapa lama, menyelami pikirannya perlahan, membahas hal-hal penting sampai tidak penting, hingga kemudian otakmu menyimpulkan kalau dia bukan saja cantik, tapi juga luar biasa. Kemudian aku mengatakan cinta. Selesai. Detik setelah itu aku sudah bisa menganggapnya sebagai pacar.

Berita buruknya adalah, sudah satu minggu lebih kami tidak saling tegur.

Bukankah aneh, jika sepasang kekasih yang sudah bersama berminggu berbulan tapi sudah tidak saling menyapa.

Kalau diurut lagi dari awal, mungkin memang sebenarnya ini semua salahku. Beberapa berat untukku. Aku bukan tipe lelaki yang suka menceritakan masalahnya pada kekasihnya, aku minggu terakhir memang minggu yang lebih suka membagi cerita bahagia daripada cerita sedih. Seberat apapun masalah, aku lebih suka menyelesaikannya sendiri. Tapi terkadang, aku sering meminta bantuan temanku. The name is Daniels, Jack Daniels.

Aku memang punya masalah dengan alkohol, alkohol menjadi ujung jawaban untuk masalah-masalah yang kuterima. Kekasihku, tentu saja sangat tidak suka dengan kebiasaan buruk yang aku miliki ini. Dan itu pun yang menjadi sumber pertengkaran kami.

Jadilah malam minggu ini aku sendiri.

Tidak sepenuhnya sendiri sih. Masih ada ranjang empuk, aroma teh hijau dari lilin aromatherapy, pemandangan lampu kerlap-kerlip dari balik jendela, suara Alex Turner dari speaker di atas meja, dan tentu saja sebotol Jack Daniels.

Entahlah sudah berapa gelas yang kuhabiskan malam ini, tapi yang jelas aku belum terlalu mabuk dan masih menyadari jika botolku masih setengah. Aku berdiri dari atas sofa, tapi tiba-tiba saja bumi terasa bergoyang, aku seperti sedang berada di atas kapal. Kakiku lemas, aku tak dapat lagi menahan berat badanku sendiri. Kemudian, aku pun terjatuh.

Mataku mulai terpejam, pikiranku mulai melayang-layang. Sampai kemudian terdengar suara ketukan dipintu.
Aku membuka mata. Suara Alex Turner menyanyikan Why’d You Only Call Me When You’re High  sudah sampai di bagian refrain. Aku mengucek-ucek mata. Yang tadinya kabur perlahan jelas. Aku memeriksa sekitar. Anehnya, aku sudah kembali duduk di sofa. Tangan kanan memegang handphone, dan tangan kiri menggengam fotonya yang sebelumnya kuletakan terbalik di atas meja.
Aku berjalan gontai menuju pintu dan membukanya..
Dia sudah berdiri di depan pintu!