Sunday 11 September 2016

Berlari

Melangkah. Berlari. Melangkah. Berlari lagi. Kemudian berhenti.

Ada waktunya kau harus terus berlari, tapi kau juga harus sadar kapan waktunya berhenti.



Saya keluar dari kereta dengan langkah setengah terseret. Siang hari, dan Stasiun Tanah Abang sangat ramai.

“Tahu tempat sol sepatu, Pak?” tanyaku pada satpam di pintu keluar.

Dia tak langsung menjawab. Tapi terlebih dahulu memandangi muasal langkahku yang terseret. Sol sepatu kiri menganga seperti kelaparan.

“Kenapa sepatu kamu?” tanyanya.

“Nah, itu dia,” jawabku. “Saya harus ke tukang sol sepatu. Bapak tahu tempatnya?”

“Lurus, naik tangga, lalu keluar. Tukang sol ada di dekat musholla dan toilet.”

Aku mengangguk dan berterima kasih, lalu berjalan menuju arah yang ditunjukan si satpam. Masih langkah terseret akibat sepatu kiri sialan yang rusak di saat yang tidak tepat ini.

Hanya butuh lima menit sampai akhirnya saya menemukan tukang sol sepatu yang satpam beritahu tadi. Sebuah piring dan gelas yang sudah kosong terlihat di atas meja. Si tukang nampaknya baru selesai makan siang. Dan seperti juga satpam yang tadi, si tukang pun langsung sadar dengan sol sepatu kiriku yang menganga. Semuanya kemudian berjalan cukup cepat.

Sat set bat bet. Sat set bat bet

Tak sampai setengah jam, sepatu kiriku sudah terjahit rapi. Kembali normal dan nyaman dipakai seperti semula.

“Berapa, Pak?”

“Nggak usah,” dia menggeleng.

“Yang bener, Pak?”

“Sudahlah. Bawa saja. Gratis.”

“Pak. Saya punya uang, kok,” suaraku mulai meninggi.
“Berapa?”

“Nggak apa-apa. Gratis. Sungguh.”

“Oke. Bapak yang memaksa. Tapi saya mesti tahu alasannya.”

“Alasan apa?”

“Alasan kenapa gratis.”

“Untuk pemilik kaki-kaki yang tak pernah berhenti mengejar cinta, saya kasih gratis, jawab si tukang enteng .



Mendadak saya penasaran dengan menu si tukang sol saat makan siang tadi.