Saturday 10 December 2016

Sebuah Malam Minggu

Gerimis seringkali menjadi sumber inspirasi.



Apalagi kalau ini malam minggu, kau sendirian di kedai kopi yang isinya orang pacaran, headphonemu ketinggalan, telingamu pasrah dengan Closer yang diputar berkali-kali.



Gerimis di luar jadi semakin menginspirasi. Menginspirasimu melakukan hal yang kurang penting.



Dan inilah yang kulakukan sekarang; menutup laptop, meraih handphone, membuka Instagram beberapa orang. Semuanya perempuan tentu saja. Salah satunya mantan pacarku. Menonton IG Stories mereka, mengirim komen yang sebenarnya tak bisa dibilang komen juga. Karena cuma berupa tiga biji emoji tertawa sambil menangis.



Niatannya tentu cuma satu hal: caper.



Semenit. Dua menit. Tiga menit.



Ting!

Ting! Ting!

Ting!

Ting! Ting! Ting!



Tujuh pesan masuk. Balasannya tak ada sesuai harapan. Iseng dan caper yang berbalas basa-basi. Emoji dibalas emoji. Tidak penting. Saking tidak pentingnya hingga tak perlu diceritakan di sini.



Enam menit. Delapan menit. Sepuluh menit.



Ting!



Aku melirik layar handphone. Sebaris pesan, bukan dari inbox Instagram, tapi dari Whatsapp.



“Haaaaaiiiii!”



Yang ini dari si mantan rupanya. Beberapa pengecut enggan move on seringkali menghapus nama mantannya setelah putus, atau menggantinya dengan nama yang aneh-aneh. Tapi tentu saja itu tak kulakukan. Nama mantan pacarku masih tertulis lengkap di phonebook. Nama indah yang dulu sering kusebut sama cantiknya dengan senyumnya itu.



“Yaa”



Tadinya ingin kubalas dengan “Haaaaaaaiiiiiiiii” yang lebih panjang lagi. Tapi naluri kelaki-lakianku melarang. Jadinya cukup “Yaa” saja. Bahkan di saat seperti ini pun aku masih berusaha sok cool.



“Apa kabar, Wis?”



Hore! Dia yang menanyakan kabar duluan. Otakku langsung berpikir keras. Mencari-cari jawaban paling pas.



Terlalu lama. Pesan berikutnya keburu masuk.



“Apa kabar, Moy? Eh.. Aku manggil apa ya enaknya?”



Ini dia. Dua pesan berturut-turut. Memang sebenarnya nggak ada bedanya. Tapi tak tahu apa penggalan yang tepat untuk nama “Wismoyo”, itu soal lain lagi. Secepat kilat jari-jariku mengetik pesan balasan.



“Memang dulu manggilnya apa?”



Lima menit. Sepuluh menit. Tak ada balasan. Aku mulai khawatir jika dia tidak akan membalas. 
Sampai akhirnya..



“Dulu sih manggilnya sayang.”



Gerimis di luar tiba-tiba menjadi hujan deras. Kalau gerimis bisa menginspirasimu melakukan hal kurang penting, mungkin hujan kali ini akan mengajakmu melakukan hal yang tidak-tidak.

Sunday 11 September 2016

Berlari

Melangkah. Berlari. Melangkah. Berlari lagi. Kemudian berhenti.

Ada waktunya kau harus terus berlari, tapi kau juga harus sadar kapan waktunya berhenti.



Saya keluar dari kereta dengan langkah setengah terseret. Siang hari, dan Stasiun Tanah Abang sangat ramai.

“Tahu tempat sol sepatu, Pak?” tanyaku pada satpam di pintu keluar.

Dia tak langsung menjawab. Tapi terlebih dahulu memandangi muasal langkahku yang terseret. Sol sepatu kiri menganga seperti kelaparan.

“Kenapa sepatu kamu?” tanyanya.

“Nah, itu dia,” jawabku. “Saya harus ke tukang sol sepatu. Bapak tahu tempatnya?”

“Lurus, naik tangga, lalu keluar. Tukang sol ada di dekat musholla dan toilet.”

Aku mengangguk dan berterima kasih, lalu berjalan menuju arah yang ditunjukan si satpam. Masih langkah terseret akibat sepatu kiri sialan yang rusak di saat yang tidak tepat ini.

Hanya butuh lima menit sampai akhirnya saya menemukan tukang sol sepatu yang satpam beritahu tadi. Sebuah piring dan gelas yang sudah kosong terlihat di atas meja. Si tukang nampaknya baru selesai makan siang. Dan seperti juga satpam yang tadi, si tukang pun langsung sadar dengan sol sepatu kiriku yang menganga. Semuanya kemudian berjalan cukup cepat.

Sat set bat bet. Sat set bat bet

Tak sampai setengah jam, sepatu kiriku sudah terjahit rapi. Kembali normal dan nyaman dipakai seperti semula.

“Berapa, Pak?”

“Nggak usah,” dia menggeleng.

“Yang bener, Pak?”

“Sudahlah. Bawa saja. Gratis.”

“Pak. Saya punya uang, kok,” suaraku mulai meninggi.
“Berapa?”

“Nggak apa-apa. Gratis. Sungguh.”

“Oke. Bapak yang memaksa. Tapi saya mesti tahu alasannya.”

“Alasan apa?”

“Alasan kenapa gratis.”

“Untuk pemilik kaki-kaki yang tak pernah berhenti mengejar cinta, saya kasih gratis, jawab si tukang enteng .



Mendadak saya penasaran dengan menu si tukang sol saat makan siang tadi. 

Thursday 28 July 2016

Tertawa Bersama

Siapa bilang cinta tak pernah salah.

Cinta menghancurkan sebuah hubungan dengan caranya sendiri.
Cinta bisa berubah menjadi penghancuran, perkelahian, hingga ledakan.
Cinta yang seharusnya sederhana, ternyata bisa berubah menjadi bencana.

Kita masih muda, kita saling cinta, tapi kita tak bisa bersama.

Kapan kita kencan lagi?
Kencan diam-diam hingga pagi buta. Buta seperti hati kita. Katanya karena efek jatuh cinta.

Jatuh cinta itu apa? Lalu kita pun tertawa.
Sudah lupa.

Ini hanya kencan biasa, berupa duduk-duduk bersama dan berbagi cerita. Cerita tentang apa?
Tentang apa saja, asal tidak tentang cinta.

Cinta itu apa? Sudah lupa.

Dan kita akan selalu kembali tertawa, bersama.





Wednesday 29 June 2016

Semesta

Semesta, aku bisa bilang apa?

Jika yang kau tunjukan padaku mentah-mentah adalah realita paling nyata.

Bahwa rasa ini tak ada harganya.

Bahwa ingin ini hanya kosong yang dijumawakan.

Sesungguhnya semua biasa saja, bias saja. Hanya soal aku dan rasaku saja. Bukan rasa yang dia punya. Dia tak punya rasa.

Dikatakan berkhianat pun tak bisa, dia tak punya rasa. Dibagikan kepada siapapun terserah saja. 

Terserah dia. Lalu aku tertawa. Tertawa bersama semesta.

Menertawakan rasaku yang tak terhingga nilainya. Rasa yang terlalu berharga untuk dibuang. Rasa untuk siapa?


Well.. tanggal itu lewat lagi, 28 Juni.


Banyak orang yang heran dengan apa yang saya lakukan. Bahwa saya terlalu sering menyebut namanya, bahwa saya masih sangat peduli kepadanya walaupun sebenarnya itu sudah sangat dilarang, bahwa saya sering menempatkan diri saya sebagai lelaki yang tidak bisa pindah.

Tapi, itulah cara saya menertawakan hidup. Itulah cara saya membuat hidup lebih seru. Bukankah saya pernah bilang kalau saya sudah 200% move on. Saya juga sadar kalau kesempatan untuk mendapatkanya lagi sudah sangat tertutup, bahkan sudah tidak ada kesempatan lagi.
Kebanyakan orang move on dengan cara yang sederhana, mencari yang baru kemudian mencoba hidup bahagia kembali. Sesederhana itu.

 Mungkin cara saya mengikhlaskan sudah berada di level berbeda. Dengan menjadikan apa yang sudah terjadi sebagai lelucon, bukan sesuatu yang harus dilupakan. Apalagi untuk dikutuk.

 What’s hurt you the most, will be your funniest joke. Sungguh tak ada sedikitpun keinginan dihati saya untuk memilikinya sekali lagi. Tapi saya tetap butuh dia, butuh dia untuk membuat saya tetap konsisten patah hati.

Dengan patah hati, saya bisa membuat banyak tulisan. Dengan patah hati, saya bisa membuat banyak lelucon. Dengan patah hati saya bisa menghasilkan kata-kata indah. Bukankah tidak ada hal sia-sia jika kita melakukan apa yang kita senangi?


Lalu aku bisa bilang apa? Kecuali menyimpan semua rasa yang kupunya untukku saja.
Bukan untuk siapa-siapa, seperti kata semesta.
Agar harganya menjadi semakin mahal untuk kujumawakan, karena rasa yang aku punya terlalu tinggi nilainya, kata semesta.

Jadi... Semesta, sampai kapan?
Sampai aku lupa bahwa aku pernah punya rindu. Meskipun itu mustahil.
Bagaimana mungkin aku melupakan sesuatu yang berasal dari hati.
Hati tak punya otak, dan hanya otak yang bersifat melupakan.

Jadi... Semesta, selamat ulang tahun.


Thursday 23 June 2016

Tidak Ada Jaten Hari Ini

Tidak ada Jaten hari ini.
Tidak ada Jaten kemarin.
Kau yang panas di kening. Kau yang dingin dikenang.

Di sini  tidak mungkin
kau tersesat karena payah dalam arah.
Tak ada Manahan yang kau hindari.
Tak ada Pasar Gedhe yang kau maki.
Sambil menertawakan hidup,
kita mulai hal yang lebih hidup. 

Di dingin malam,
kita akan membicarakan apa saja.
Manis cinta, rindu rumah,
mimpi pernikahan, pilihan sulit,
yang membuatmu tersenyum hari ini,
hingga yang membuatmu paling sedih semalam.

Dan cinta—kau tak ingin aku
mematikan mata lampu.
Jendela terbuka
dan masa lampau memasuki ku sebagai angin.

Nanti di dasar gelas
yang isinya tinggal segaris,
kau akan tahu.
Bahwa Jaten adalah
hal nomor dua yang paling ku suka
setelah senyummu. 

Sunday 5 June 2016

Ketika Hujan

Ketika hujan, satu pesan “Hai.. Kamu apa kabar?” bisa mengacaukan segalanya.

Pernah kubaca. Kata ‘segalanya’  bisa berarti hati, move on, janji, atau apa saja. Yang jelas pasti berhubungan dengan hati dan perasaan. Entah siapa yang menulisnya. Tapi tentu saja saya tidak percaya. Lagipula belakangan ini saya sudah kehilangan kepercayaan pada kalimat-kalimat puitis nan romantis.

Memangnya apa yang romantis dari turunnya hujan?

Tidak ada.

Hujan hanya membuat genangan dimana-mana. Membuat beberapa ruas jalan menjadi macet, emperan toko mendadak jadi tempat berteduh, dan orang-orang jadi susah mau kemana-mana. Alih-alih membuatmu memikirkan mantan, hujan malah membuatmu semakin lapar, menyesal dan memaki dalam hati karena seharian kau belum makan.

Itu artinya kau hanya punya tiga pilihan: nekad menerjang hujan, menelepon layanan delivery, atau puasa sampai besok. Itupun kalau besok hujan sudah reda.

Bagaimana dengan hujan dan lagu cinta?

Percayalah. Kenyataannya juga tidak sedramatis itu. Setidaknya bagiku.
Bukan sekedar sekali dua kali aku mengalami momen kehujanan bersama mantan pacar.

Kehujanan di Mangkunegaran? Pernah!

Kehujanan di stasiun dan terminal? Pernah!

Menunggu hujan reda di emperan toko? Pernah!

Tapi toh hujan kali ini tetap saja tidak serta merta membuatku memikirkan, apalagi merindukan dia.

*tring*

Satu pesan Whatsapp masuk. Aku menatap notifikasi pesan yang tertera di layar.


“Kamu apa kabar?”


Dari speaker laptopku perlahan mengalun lagu sendu dari Melly Goeslaw.


Kata orang rindu itu indah
Namun bagiku ini menyiksa
Sejenak ku fikirkan untuk ku benci saja dirimu
Namun sulit ku membenci


Aku sekali lagi menatap pesan di layar:


“Kamu apa kabar?”


Hujan, pesan dari mantan kekasih, dan lagu cinta.
Apakah sekarang aku terpengaruh? Oh tentu saja tidak!


*tring*


Aku kembali menatap layar. Satu lagi pesan masuk.


“Saya rindu kamu”


Dan kali ini saya pun harus mengakui:

Hujan 1 – 0 Saya.




Thursday 19 May 2016

Lari Dari Senyumnya

Sore di Stasiun. Saya menunggu kereta yang akan membawaku ke Malang. Disana (seharusnya) menjadi tempat liburan ku bersama kekasih. Ya, ‘seharusnya.’ Malangnya, memang hubungan kami telah berakhir. Walaupun begitu, saya tetap memutuskan untuk berangkat. Sendirian.

Padahal  dua bulan lalu hubungan kami baik-baik saja, bahkan kami sudah mempersiapkan matang-matang rencana liburan ini. Sudah pesan tiket kereta, pesan kamar hotel, sampai membuat list tempat-tempat yang akan kami tuju.

Sebulan setelah itu, dia meninggalkanku begitu saja. Penyebabnya entah apa. Alasannya entah apa. Setannya entah siapa. Ternyata dia menganggap ku tidak serius. Katanya, saya sama saja dengan lelaki kebanyakan yang suka tebar pesona sana-sini. Saya diam. Semarah apapun kamu waktu itu, saya diam. Saya tak ingin membela diri. Saya tak ingin menjelaskan apapun. Karena memang tak ada yang perlu dijelaskan.

Dua minggu yang lalu, saya baru tahu kalau dia cemburu. Perempuan yang dia curigai itu, Tyas namanya. Saya tidak tahu setan mana yang membuatnya berpikir antara saya dan Tyas ada apa-apa. Padahal dia kenal Tyas. Bahkan sebelum kita jadian, dia tahu kalau saya berteman dengan Tyas. Tapi pikir ku, mungkin itu hanya alasannya saja.

Mungkin sebenarnya dia sudah bosan, mungkin dia telah bertemu laki-laki lain yang lebih baik. Entahlah, lagi pula saya juga kehilangan kabar tentang dia. Saya juga tidak mencoba berusaha mencari tahu, buang-buang waktu. Bukankah cinta adalah perjuangan dua pihak. Jika cuma satu pihak saja yang berjuang, untuk apa harus diperjuangkan lagi. Pikirku.

Lalu sebatang rokok kunyalakan, sebelah earphone kutancapkan ke lubang telinga kanan. Belum ada lagu yang keluar dari sana, saya masih merenung. Memikirkan kembali hal-hal yang telah terjadi. Seperti masih ada sesuatu yang mengganjal di dada. Sesak.

Mungkin saya memang merindukannya. Sosok perempuan bermata indah yang senang sekali memakai kardigan berwarna biru laut dan sangat menyukai kopi dan tulisan-tulisan Rowling, Coelho atau pun Murakami. Yang senang sekali bercerita tentang cahaya yang tak pernah padam. Yang sangat menyukai kisah sepasang kekasih yang berharap mati ditabrak bus tingkat itu. Yang selalu larut pada cerita seorang lelaki yang meninggalkan kekasihnya dengan pesawat jet. Yang percaya bahwa cahaya akan menuntunnya pulang.

Tanpa sadar, saya telah memutar sebuah lagu. Iwan Fals.

“denting piano saat jemari menari...”  

Tak lama setelah itu kereta yang ku tunggu akhirnya datang. Saya memutuskan untuk menghabiskan rokok yang sudah mendekati pangkalnya itu. Saya pun mengambil keputusan. Setelah pulang dari Malang, mungkin saya akan mencarinya lagi, mencoba memperbaiki semua yang telah terjadi, dan mungkin juga memintanya kembali lagi padaku. Bukankah memang sudah seharusnya jika laki-laki harus berjuang lebih keras dari wanita?

Saya lalu masuk ke gerbong kereta. B-12, begitu yang tertera di karcis. Saya berjalan menyusuri gerbong ditemani suara Iwan Fals. Beberapa saat kemudian saya menemukan tempatku duduk, disebrangnya sudah duduk seorang wanita.

Berkardigan biru laut, menyeruput kopi dari gelas plastik, dipangkuannya ada buku “Hear the Wind Sing and Pinball” karangan Murakami. Mata indah wanita itu menatap mataku. Suara Iwan Fals juga telah mendekati akhir lagu.

“pernah ku mencoba tuk sembunyi..”

Namun senyummu tetap mengikuti. Lanjutku pelan.




Sunday 24 April 2016

Pria Dari Masa Depan

“Kelak di masa depan akan ada penemuan luar biasa,” ucapku kepada wanita cantik yang duduk lesehan di sampingku itu.

Sudah seharian penuh aku bersama wanita ini. Mendekati malam, lalu lintas di depan Holland Bakery Palur masih sangat ramai. Kendaraan lalu lalang dari dua arah, macet dan semrawut. Beberapa pejalan kaki di atas trotoar tampak gelisah buru-buru, samar tercium wangi sate padang yang dibakar di atas tungku, dan aroma nasi goreng dari gerobak yang mangkal tak jauh dari situ. Lagu The Scientist dari Coldplay mengalun sendu dari handphone salah satu pelanggan melengkapi suasana.

“Namanya mesin waktu,” lanjutku tanpa mengalihkan pandangan dari kedua mata beningnya.
“Dengan itu kamu bisa melakukan sesuatu yang selama ini hanya menjadi khayalan bagi banyak orang.”

“Melihat masa depan?” tanyanya.

“Bukan,” aku menggeleng.
“Mesin waktu tak diciptakan untuk itu. Bahkan di masa depan nanti para ilmuwan jenius itu tetap akan membiarkan masa depan menjadi misteri. Agar hidup tetap berjalan seru dengan segala misterinya. Agar manusia tak bertindak semaunya setelah melihat masa depan mereka yang indah, juga agar mereka yang bermasa depan suram tidak dihantui ketakutan yang sia-sia.”

“Lalu apa tujuan diciptakannya mesin waktu?” dia kembali bertanya.

“Tujuan utama diciptakanya mesin waktu adalah untuk memperbaiki kesalahan,” lanjutku antusias. “Tapi teknologi itu juga bisa kau gunakan untuk mengobati rindu, untuk bertemu kembali dengan orang-orang yang kau cintai. Mungkin juga untuk meminta maaf atas kesalahan yang pernah kau buat, dan masih banyak kegunaan yang lainnya. Yang jelas mesin waktu hanya bisa berjalan mundur, bukan maju ke masa depan.” Pungkasku panjang lebar.

“Tapi kalau aku menggunakan mesin waktu, aku tetap tak mau kembali ke masa lalu.”

“Kenapa?”

“Bagiku masa lalu hanya untuk dikenang, atau untuk dijadikan pelajaran.” Jawabnya.
“Masa depan yang jauh lebih penting. Kalau tadi kamu bilang hidup tak akan seru saat kita bisa melihat masa depan, bagiku hidup takkan bisa maju jika kita terus terpaku dan larut dalam penyesalan.

Kali ini aku terdiam. Sebenarnya aku masih ingin membantahnya, dan meyakinkan dia bahwa mesin waktu untuk kembali ke masa lalu adalah penemuan yang sangat berguna. Tapi waktuku tinggal sedikit.

“Kamu jika mendapatkan kesempatan untuk memakai mesin waktu, kamu akan kembali ke zaman kapan?” tanyanya.

“Banyak. Salah satunya mungkin adalah saat-saat bersamamu seperti ini, Diz.” Jawabku.

Pemilik mata bening itu kembali tersenyum, dan aku semakin salah tingkah melihatnya. Jantungku berdegup lebih kencang, pikiranku mendadak kacau.

“Jadi begini...”

Belum sempat aku menyelesaikan sebuah kalimat, tiba-tiba cahaya putih kebiruan menerpaku, dan semua disekitarku mulai memudar. Earphone yang terpasang ditelinga kananku berbunyi bip..bip pelan, diikuti suara seorang wanita.

“Maaf, waktu anda telah habis. Terima kasih telah menggunakan jasa mesin waktu.”




Thursday 4 February 2016

Dilarang Turun Hujan

Saya duduk menatap laptop. Di depan saya, dia juga duduk menatap laptop.

Kamu tahu? Banyak orang mengatakan ini adalah waktu yang tepat untuk berselingkuh. Sore menjelang senja, di kedai kopi eksotik namun sepi yang letaknya nun jauh dari timur kota. Di luar , hujan baru saja reda. Pejalan kaki dan pemotor yang tadinya berteduh itu sudah siap melanjutkan kembali perjalanan mereka.

Saya masih duduk menatap layar laptop. Dia juga.

Saya punya kebiasaan kecil. Meski mata menuju ke laptop, earphone saya tetap tertancap ke handphone dan memutar musik dari sana. Kali ini album X&Y Coldplay. Baru track 3, White Shadows. Kalau kau hafal tracklist album ini, lagu yang disebut-sebut punya lirik tulus dan dalam itu akan jadi track berikutnya. Benar. Lagu yang liriknya seringkali dikutip dan dituliskan di gambar-gambar pemandangan itu. Tak perlu saya sebutkan judul lagunya kan?

Kemudian barista ramah itu datang lagi. Membawa seporsi roti bakar dengan aroma madu yang menggugah selera.

Saya mencuri pandang. Sedikit. Ke layar iPod kamu yang ternyata juga sedang memutar Coldplay, meski bukan lagu yang sama dengan lagu yang saya dengar sekarang.

Seperti juga saya, ternyata kamu punya kebiasaan tak jauh berbeda. Mata dan jari-jari sibuk dengan laptop, namun earphone memutar musik dari gadget lain.

Saya mengambil sebatang rokok, kemudian menyalakannya. Selang lima detik, kamu juga melakukan hal yang sama. Aroma tembakau dan menthol meruap ke udara. Bercampur samar aroma hujan, harum kopi, dan wangi madu.

Saya tersenyum, kamu juga tersenyum. Entah apa yang saya dan kamu sedang pikirkan. Selama sekian jeda, saya dan kamu berada di canggung yang sukar dicerna.

Di luar, hujan mulai turun lagi.


Jauh di dalam hati, saya mulai mengagumi betapa cantiknya kamu. Pelan-pelan hati saya jatuh, meski kepala saya mengatakan tidak boleh lebih jauh.    

Sunday 24 January 2016

Siang Hari

“Kalungnya bagus,” ucap ku sambil tersenyum.

 Mataku bergerak ke kalung yang menempel tepat di atas dadanya. Perempuan cantik yang duduk di depanku itu menghisap rokoknya dalam-dalam, menghembuskan asapnya dengan nikmat. Samar aroma menthol memenuhi udara.

“Kau tahu,” ujarnya.
“Baik buruknya perempuan sebenarnya bisa dilihat dari matanya. Tapi sayang kebanyakan pria lebih memperhatikan dada.”

“Oh ya?” tanyaku. Buru-buru aku mengalihkan pandangan.

Namanya Tyas. Tyas sudah menjadi sahabatku semenjak semester pertama kuliah, hingga kini kami sudah memasuki semester akhir. Kebanyakan orang pasti merasa heran jika tahu kami cuma berteman, tapi memang begitulah kenyataannya. Kami cuma merasa aneh jika kisah persahabatan bertahun-tahun ini harus berubah menjadi kisah percintaan sepasang lelaki dan perempuan.

Semacam ada kesepakatan tak tertulis diantara kami berdua bahwa kami tidak akan berpacaran. Selain itu juga ada hal lain yang membuat kami tidak bisa bersama. Bahwa Tyas sudah memiliki kekasih, dan hal lain yang lebih rumit. Kami berbeda agama. Tyas seorang Katholik taat, dan saya walaupun bukan seorang Muslim yang taat, tahu jika hal seperti ini akan menjadi masalah yang rumit di masa yang akan datang.

Malam itu di kedai kopi langganan kami di daerah Mangkunegaran, Tyas curhat tentang pacarnya. Dia baru putus.

“Begitulah,” dia tersenyum tipis tanpa beban.
“Kami sudah berpacaran hampir dua tahun. Yang terlama dibanding pacar-pacarku sebelumnya. Pacaran jarak jauh, komunikasi tiap hari cuma lewat telepon dan video call, kangen-kangena dan berantem juga jarak jauh.”

“Tapi menurutku Solo-Jogja bukan LDR.” Potong ku.

“Kok bisa?”

“Disebut LDR jika dan hanya jika jarak dua kota memakan waktu 6 jam lebih perjalanan darat, atau lebih dari 500ribu untuk tiket pesawat.”

Dia tersenyum.
“Jarak ternyata memang bisa menjadi musuh berbahaya ya?”

“Sama sekali tidak,” aku menggeleng tegas. “Musuh terbesar sebuah hubungan adalah curiga dan rasa tidak percaya.”

“Teorinya memang seperti itu. Mengatakannya memang mudah, tapi menjalaninya sama sekali tidak mudah.”

“Aku enggak bilang itu mudah sih..”

“Sulit,” bibirnya yang basah kembali menghembuskan asap beraroma menthol.
“Mejalaninya lebih sulit. Faktanya, kedekatan psikologis ternyata memang membutuhkan kedekatan fisik.”

Sebuah nada dering kemudian terdengar. Ada panggilan masuk di handphone-nya. Dari sudut mataku kulihat dia hanya diam memandangi nama yang tertera di layar, sebelum kemudian jarinya menekan tombol reject.

“Mantan pacar kamu?”

Dia mengangguk.
“Dia selau begitu. Kembali disaat yang tidak tepat. Hanya untuk meminta maaf dan mengatakan hal-hal yang tidak penting.”

“Apa susahnya memberi maaf?”

“Ini lebih dari itu. Kamu enggak akan mengerti.” Dia kemudian mematikan rokok mentholnya.
“Kita cari tempat ngobrol lain yuk?”

“Dimana?”

“Ke kosan kamu aja, yuk? Aku capek, ngantuk, pengen rebahan.”

“Kamu mau ke kosanku?”

“Iya. Kayaknya sekalian nginep deh. Aku males pulang.”

“Kamu mau nginep di kosanku?”

“Iya. Gimana?”

Secepat kilat setan di kepalaku mengirim sinyal yang menyuruhku mengangguk dan bilang iya. Aku menggenggam tangannya. Dari speaker kedai kopi, suara Adam Levine terdengar melengking di entah refrain keberapa. Biasanya aku benci lagu ini. Tapi kali ini tidak.


And then when the daylight comes I’ll have to go
But tonight I’m gonna hold you so close
Cause in the daylight we’ll be on our own
But tonight I need to hold you so close











Mungkin Nanti

Sebelum mulai bercerita, ada baiknya saya menyampaikan beberapa hal kecil ini. Orang bilang saya terlalu lemah pada perempuan. Mereka bilang saya terlalu mudah jatuh cinta. Beberapa sisanya bilang saya tidak bisa membedakan sayang, perhatian berlebih, nafsu, dan cinta.

Sebenarnya saya tidak pernah benar-benar paham makna semua itu tadi. Kalian boleh saja menganggap saya tidak pernah mengerti arti cinta sesungguhnya. Tapi lantas kenapa? Kalau saya dan perempuan yang saya cintai saling memberi dan menjaga hati, bukankah hal-hal lain bisa dipikirkan belakangan? Dengan cinta, kita bisa lakukan semua. Dengan cinta, tak ada yang tak seru. Semua kita jalani bersama. Pahit manisnya, hitam putihnya, baik dan buruknya. Sesederhana itulah pemikiran saya tentang cinta.

Hingga malam itu pacar saya mengajak bertemu. Sebenarnya ini bukanlah hal yang luar biasa kalau di malam minggu seperti ini dia mengajak saya bertemu. Biasanya kami menonton film di bioskop, sering juga cuma sekedar makan malam sederhana di rumahnya, lalu menonton film, dan begitu jarum menunjuk angka 10, saya pun berpamitan pulang.

Tapi kali ini beda. Dia mengajak saya bertemu di toko kaset. Saya sering sekali lewat daerah sini, tapi entah kenapa baru sekarang saya sadar kalau disini ada toko kaset.

“Kenapa semalam enggak menelepon?” pacar saya akhirnya membuka pembicaraan.
“Aku banyak kerjaan, sayang.”
“Tapi pulsa juga banyak, kan?”
“Semalam aku menelepon kok. Kamu sudah tidur.”
“Kenapa enggak telepon lebih awal?”
“Oh. Jadi ini yang bikin kamu seharian jadi diem gak jelas?”
“Yang enggak jelas itu kamu!”

Oke. Ini dia. Pacar saya yang tukang ngambek ini mengeluarkan kalimat-kalimat yang menjurus kearah pertengkaran kecil dan tidak penting. Tidak, tidak. Saya tidak boleh terpancing. Saya harus membujuknya. Saya harus meminta maaf. Mengajaknya makan mungkinlah hal yang bagus. Siapa tahu setelah kenyang dia berkurang marahnya.

“Kita makan dulu, yuk?”
“Enggak mau.”

Rupanya dia setingkat lebih ngambek sekarang.

“Kita makan nasi goreng, yuk?”
“Nggak.”
“Ayam bakar deh.”
“Nggak.”
“Roti bakar! Roti bakar!”
“Nggak.”
“Ceker dherr?”
“!@#$%^&*”

Jadi inilah akhirnya. Pacar saya yang cantik, tukang ngambek, dan suka membuat orang bingung itu balik kanan, kemudian berjalan meninggalkan saya yang kebingungan tanpa sepatah kata pun.

“Saatnya ku berkata. Mungkin yang terakhir kalinya.”

Ah ya. Toko kaset ini memutar lagu yang tepat disaat yang kurang tepat. Ini lagunya Peterpan bukan? Kalau tidak salah lagu ini muncul sekitar tahun 2004, atau 2005 ya? Saya tidak ingat.

“Lagu ini,” tanyaku pada gadis yang sedari tadi berdiri dibalik meja kasir. “Apa judulnya?”
“Mungkin Nanti, Peterpan.”
“Hmm..”
“Mungkin saja kau bukan yang dulu lagi,” gadis itu bersenandung pelan mengikuti lagu.
“Mungkin saja rasa itu telah pergi,” lanjutku sambil tersenyum.

Aku membalikan badan dan mulai berpikir untuk mengejar pacarku yang mungkin belum jauh dari sini. Masih terdengar jelas suara gadis penjaga kasir itu menyanyikan bait pertama reff lagu Mungkin Nanti.


“Dan mungkin bila nanti, kita kan bertemu lagi.”