Thursday 19 May 2016

Lari Dari Senyumnya

Sore di Stasiun. Saya menunggu kereta yang akan membawaku ke Malang. Disana (seharusnya) menjadi tempat liburan ku bersama kekasih. Ya, ‘seharusnya.’ Malangnya, memang hubungan kami telah berakhir. Walaupun begitu, saya tetap memutuskan untuk berangkat. Sendirian.

Padahal  dua bulan lalu hubungan kami baik-baik saja, bahkan kami sudah mempersiapkan matang-matang rencana liburan ini. Sudah pesan tiket kereta, pesan kamar hotel, sampai membuat list tempat-tempat yang akan kami tuju.

Sebulan setelah itu, dia meninggalkanku begitu saja. Penyebabnya entah apa. Alasannya entah apa. Setannya entah siapa. Ternyata dia menganggap ku tidak serius. Katanya, saya sama saja dengan lelaki kebanyakan yang suka tebar pesona sana-sini. Saya diam. Semarah apapun kamu waktu itu, saya diam. Saya tak ingin membela diri. Saya tak ingin menjelaskan apapun. Karena memang tak ada yang perlu dijelaskan.

Dua minggu yang lalu, saya baru tahu kalau dia cemburu. Perempuan yang dia curigai itu, Tyas namanya. Saya tidak tahu setan mana yang membuatnya berpikir antara saya dan Tyas ada apa-apa. Padahal dia kenal Tyas. Bahkan sebelum kita jadian, dia tahu kalau saya berteman dengan Tyas. Tapi pikir ku, mungkin itu hanya alasannya saja.

Mungkin sebenarnya dia sudah bosan, mungkin dia telah bertemu laki-laki lain yang lebih baik. Entahlah, lagi pula saya juga kehilangan kabar tentang dia. Saya juga tidak mencoba berusaha mencari tahu, buang-buang waktu. Bukankah cinta adalah perjuangan dua pihak. Jika cuma satu pihak saja yang berjuang, untuk apa harus diperjuangkan lagi. Pikirku.

Lalu sebatang rokok kunyalakan, sebelah earphone kutancapkan ke lubang telinga kanan. Belum ada lagu yang keluar dari sana, saya masih merenung. Memikirkan kembali hal-hal yang telah terjadi. Seperti masih ada sesuatu yang mengganjal di dada. Sesak.

Mungkin saya memang merindukannya. Sosok perempuan bermata indah yang senang sekali memakai kardigan berwarna biru laut dan sangat menyukai kopi dan tulisan-tulisan Rowling, Coelho atau pun Murakami. Yang senang sekali bercerita tentang cahaya yang tak pernah padam. Yang sangat menyukai kisah sepasang kekasih yang berharap mati ditabrak bus tingkat itu. Yang selalu larut pada cerita seorang lelaki yang meninggalkan kekasihnya dengan pesawat jet. Yang percaya bahwa cahaya akan menuntunnya pulang.

Tanpa sadar, saya telah memutar sebuah lagu. Iwan Fals.

“denting piano saat jemari menari...”  

Tak lama setelah itu kereta yang ku tunggu akhirnya datang. Saya memutuskan untuk menghabiskan rokok yang sudah mendekati pangkalnya itu. Saya pun mengambil keputusan. Setelah pulang dari Malang, mungkin saya akan mencarinya lagi, mencoba memperbaiki semua yang telah terjadi, dan mungkin juga memintanya kembali lagi padaku. Bukankah memang sudah seharusnya jika laki-laki harus berjuang lebih keras dari wanita?

Saya lalu masuk ke gerbong kereta. B-12, begitu yang tertera di karcis. Saya berjalan menyusuri gerbong ditemani suara Iwan Fals. Beberapa saat kemudian saya menemukan tempatku duduk, disebrangnya sudah duduk seorang wanita.

Berkardigan biru laut, menyeruput kopi dari gelas plastik, dipangkuannya ada buku “Hear the Wind Sing and Pinball” karangan Murakami. Mata indah wanita itu menatap mataku. Suara Iwan Fals juga telah mendekati akhir lagu.

“pernah ku mencoba tuk sembunyi..”

Namun senyummu tetap mengikuti. Lanjutku pelan.