Monday 23 November 2015

Hanya Cinta Yang Sejukan Dunia

Hujan sejak sejam yang lalu akhirnya menyisakan rintik gerimis dan butir-butir embun di dedaunan. Aku menghisap rokokku dalam-dalam dan menghembuskannya ke langit, memastikan hujan sudah benar-benar reda. Di dalam ruang dengarku, terdengar suara Sting menyanyikan lagu My Funniest Friend and Me. Lalu kurasakan sentuhan lembut di pundak.

“Kita pulang sekarang, yuk?” ajaknya.

Aku mengangguk kecil. Sudah empat minggu lebih, wanita ini mengisi hari-hariku.

Aku menyayanginya dengan tulus dan entah kenapa. Catatan khusus untuk kata ‘entah kenapa’, mungkin sebaiknya kutambahkan kalimat ‘tapi-aku-tidak-berani-mengatakan-dan-hanya-bisa-menyimpan-perasaanku-dalam-hati-saja’. Tak terhitung banyaknya petuah atau kalimat yang kubaca dan menjelaskan bahwa cinta harus dikatakan, cinta tak hanya diam, atau yang semacamnya. Tapi semuanya tidak mempan. Pada kenyataannya aku justru merasa lebih nyaman menyayanginya dengan cara seperti sekarang ini.

Sebuah rasa nyaman yang sebenarnya semu dan tak berujung, aku tidak tahu bagaimana dengan dia. Aku tidak tahu bagaimana perasaannya. Yang jelas tak pernah sekalipun kudengar ia bercerita tentang pacarnya, mantan pacarnya, atau tentang laki-laki siapapun yang pernah dekat dengannya. Obrolan hangatku dengannya selalu berkisar tentang cerita-cerita kesehariannya, alasannya lebih suka teh daripada kopi, film-film yang dia sukai, dan yang paling sering adalah tentang Sting, penyanyi maha eksis yang diidolakan ayahnya. Dan aku pikir ayahnya sukses mempengaruhinya sehingga dia juga ikut mengidolakan Sting.

“Sting pasti bangun dari tidur kalo denger Once nyanyi Roxanne,” kelakarnya dalam perjalananku mengantarnya pulang.
“Dia pasti akan mikir, Buset! Siapa tuh suaranya mirip sama gue!” Lanjutnya.

Aku lantas tertawa. Dia sudah tahu kalau adalah orang yang tidak setuju jika suara Once sering dibanding-bandingkan dengan Sting. Karakter suara mereka sebenanya berbeda. Sting bergaya fussion jazz, sementara Once lebih ke progressive rock. Menurutku Once hanya mirip Sting di awal-awal kemunculannya, apalagi saat menyanyikan part berbahasa Inggris di lagu Kuldesak. Setelah itu, bagiku Once sama sekali tak ada mirip-miripnya dengan Sting.

“Once sebenarnya bagus,” ujarku.
“Tapi dia cuma bagus kalau menyanyikan lagu yang khusus diciptakan untuk dia.”

“Maksudnya?”

“Once sering kehilangan karakter saat menyanyikan lagu orang lain. Pernah dengar I Want To Break Free atau Bohemian Rhapsody versi Dewa 19 kan? Dia disana seperti Freddie Mercury wannabe.”

“Iya. Benar juga..” Tukasnya.

“Cukup Siti Nurbaya yang sebelumnya dinyanyikan Ari Lasso juga jadi berantakan kalau dinyanyikan Once.”
“Pastikaaaan pada semuaaa....” aku mulai berteriak keras dan menyanyikan potongan lagu itu.

“Hanya cinta yang sejukkan duniaaaaa....” lanjutnya.


Sopir taksi yang berhenti disamping motorku menoleh. Aku dan dia seakan tidak peduli.  Dia mulai mendekap pinggang ku lebih erat. 

Thursday 19 November 2015

Memeluk PuspaOh

“Sometimes loves has no reason.”

“But everything happens for a reason.”


Kalau diteruskan, mungkin obrolan macam itu tidak akan ada habisnya.

Percayalah. Urusan memaknai cinta, tiap orang pasti punya cara dan teori tersendiri. Kamu tak mungkin menilai hubungan orang lain sebagaimanapun anehnya hubungan itu di matamu. Beauty and The Beast, The Geek and The Bitch, Poor Girl and Rich Guy, Ms Stupid and Mr Genius, atau.. apalah.

Setidakseimbang apapun sebuah hubungan menurutmu, pasti akan ada alasan kenapa mereka bisa tetap saling cinta, saling sayang, saling baik-baik  saja. Dan takkan ada yang benar-benar mengetahui alasannya, kecuali Tuhan dan mereka berdua tentu saja. Kau bisa saja berasumsi sesukamu. Tapi kau tak mungkin  100% benar. Yang cantik tak selalu berpasangan dengan yang ganteng. Yang glamour bisa saja bersanding dengan yang sederhana. Yang kau anggap bajingan bisa saja mencintai yang polos dan lugu setengah mati. Yang pintar bisa saja.. yah, hal-hal seperti itu. Rasanya kalimat-kalimat barusan sudah saya jelaskan sebelumnya.

Kemudian hujan mulai turun..

Saya menepikan motor di depan sebuah warung, basa-basi membeli sebungkus rokok sekedar bisa mendapatkan tempat untuk berteduh.  Sebatang rokok kunyalakan, sebelah earphone kutancapkan di telinga sebelah kanan, diikuti intro piano dan kemudian suara Rod Stewart.


I love you for sentimental reasons
I hope you do believe me
I’ll give you my heart

Mungkin benar. Kadang cinta tak butuh alasan.

Tapi mungkin juga benar. Tidak semua hal harus ada alasannya.


Contohnya, judul postingan ini.


Penulis dan Kesendirian

Hujan.

Kedai kopi.

Lagu yang mengalun sendu.

Penulis-penulis romantis sering menulis hal-hal yang berhubungan dengan itu. Hal-hal romantis yang kadang berkaitan erat dengan Kesendirian. Seorang pria duduk di pojokan sebuah kedai kopi, sambil memandangi tetesan air hujan di jendela dan mendengarkan lagu entah apa dari earphone yang terpasang ditelinga.

Mau tahu kenapa?

Penulis itu berteman akrab dengan Kesendirian. Saat sang Penulis tengah sendiri, dipojokan sebuah kedai kopi, atau warung makan, saat diluar hujan, atau matahari sedang bersinar terik, saat itu inspirasi datang.

Penulis membutuhkan Kesendirian. Kesendirian memberi ruang kosong dikepala sang Penulis. Imajinasinya berkembang, batinnya pergi kesana kemari, sementara raganya bertopang dagu menghadap laptop atau media apapun yang digunakannya untuk menulis.

Tapi hal ini lama-kelamaan akan menggangu sang Penulis.

Kesendirian terlalu betah menemani sang Penulis. Saat sang Penulis bosan dengan Kesendirian, Kesendirian sudah terlalu terbiasa dengan kehadiran sang Penulis. Kesendirian tidak ingin sang Penulis kekurangan waktu untuk mengembangkan hal-hal kreatif di kepalanya, dan hanya Kesendirian yang sanggup memberikan apa yang sang Penulis butuhkan agar kata-katanya tetap hidup dan jemarinya terus menggores setiap kata.


Kesendirian selalu mengikuti sang Penulis. 

Rindu

“Saya rindu kamu,”

“..........”

“Saya rindu waktu jarimu dan jariku saling mengisi celah diantaranya,”

”..........”

“Saya rindu waktu helai rambutmu melukis jalur di telapak tanganku,”

”..........”

“Saya rindu lekuk tubuhmu melengkapi tubuhku saat kita saling beradu,”

”..........”

“Saya rindu celotehmu yang tidak karuan saat sepi mengambang diantara kita,”

”..........”

“Saya rindu waktu garis wajah dan gurat katamu menyiratkan cemburu,”

”..........”

“Saya rindu waktu air matamu meminta untuk tumpah di bahuku,”

”..........”

“Atau waktu mereka jatuh begitu saja di pipimu, lalu tanganku refleks menjemputnya dari wajahmu,”

”..........”

“Kamu tidak mau menyampaikan apa-apa?,”

“Tidak,”

“Ya sudah, saya hanya ingin menyampaikan itu,”

“Ya sudah,”

“Supaya kamu tahu kalau saya masih merindukanmu,”

“Kamu tidak merindukan aku,”

“Loh? Menurutmu untuk apa saya bicara panjang lebar menggunakan kata-kata bak pujangga cinta kalau aku tidak merindukan kamu?”


“Kamu hanya merindukan waktu,”

”..........”

“Kamu rindu waktu yang terisi memori dengan aku dan kamu,”

”..........”

“Kamu rindu waktu kita masih bahagia bersama,”

”..........”

“Kamu rindu waktu kamu masih jadi prioritas pertamaku,”

”..........”

“Kamu rindu waktunya, bukan rindu aku.”


Thursday 12 November 2015

Sweet As Revenge

Babak kedua. Injury time. Lebih kurangnya 90+3 menit.

Bola dari corner kick David Beckham langsung disambut Ole Gunnar Solskjaer dan mengguncang gawang Oliver Kahn. Separuh stadion bergemuruh, separuhnya tertunduk, sisanya terdiam takjub seakan tidak percaya. Solskjaer berteriak histeris dan berlari ke pinggir lapangan, sebelum akhirnya staf dan pemain-pemain di bangku cadangan ikut menyerbu dan memeluknya. Di depan gawangnya, Peter Schmeichel tersenyum melihat kejadian itu dari jauh.

Di kubu lawan, Samuel Kuffour tak bisa menyembunyikan tangisnya. Lothar Matthaeus, pemain yang sudah diganti di menit 80 tak kalah terpukul. Memang sulit dipercaya. Gol cepat Mario Basler di menit ke enam jadi sia-sia akibat gol Sheringham dan Solskjaer di injury time. Pierluigi Collina meniup peluit tanda permainan harus dilanjutkan. Tapi mental para pemain Bayern Munchen sudah hancur lebur. Keadaan tak berubah sampai peluit akhir usai. Pemain dan pendukung Bayern Munchen hanyut dalam air mata. Secara dramatis, Manchester United menjadi juara Liga Champions 1998-1999.

Itu kejadian saat saya masih kecil.

Pertandingan yang saya tonton bersama Ayah, orang yang mengenalkan saya pada bola, mempengaruhi saya agar menjadi pendukung Manchester United. Hal-hal itu berhasil, saya mulai tertarik pada sepakbola dan menyukai Manchester United.
Saya tumbuh besar bersama Manchester United. Saya masih ingat jersey Manchester United pertama yang dibelikan oleh ayah, nomor 19 milik Dwight Yorke.
Saat SMA, saya memiliki kekasih. Namanya Linda. Kulitnya putih, rambut panjang, perawakannya langsing dan cukup tinggi untuk wanita seumurannya. Dia fans Barcelona, pada saat itu Barcelona memang sedang jaya. Tapi kisahku bersama Linda tak berakhir bahagia, dia meninggalkanku begitu saja. Saya marah, saya kesal, saya kecewa, saya patah hati. Kemudian saya mulai membenci hal-hal yang disukainya, dan saya pun mulai menyimpan dendam.

Malam menjelang subuh, beberapa hari setelah saya putus dengan Linda.
Saya menatap layar Televisi di ruang keluarga, gambar yang ditampilkan belum bisa saya lupakan hingga sekarang. Pertandingan final Liga Champions.

Barcelona 2-0 Manchester United
Eto’o 10’, Messi 20’

Entahlah. Wajah Linda, orang yang beberapa hari lalu memutuskan hubungan kami secara sepihak itu seperti ada dilayar dan tertawa terbahak-bahak. Bersorak-sorak atas kemenangan Barcelona. Tentu saja ini sangat menyebalkan untuk saya.

Ini adalah dendam pertama saya kepada Barcelona.

Dua tahun berlalu, Manchester United kembali mencapai final Liga Champions. Saat itu pertandingan diselenggarakan di stadion Wembley, stadion yang dibanggakan rakyat Inggris.  Bermain dirumah sendiri tentu saja akan memotivasi pemain-pemain Manchester United, apalagi pada final sebelumnya mereka dikalahkan lawan yang sama. Barcelona.

Bukankah dendam harus dibalas?

Tapi kenyataan berkata lain. Di rumah sendiri, Manchester United kembali menelan kekalahan.

Barcelona 3-1 Manchester United
Pedro, Messi, Villa – Rooney

Tiga gol Barcelona cuma bisa dibalas sekali oleh Rooney. Kecewa dan sakit hati. Ini menjadi dendam saya yang kedua.

Saat saya duduk dibangku kuliah, perlahan saya juga mulai menyukai Real Madrid. Selain karena Real Madrid adalah musuh bebuyutan Barcelona, pemain idola saya di Manchester United yaitu Cristiano Ronaldo juga telah pindah ke Real Madrid. Pada saat itu saya juga telah mempunyai gebetan baru, namanya Tyas. Masih setipe dengan mantan pacar yang terdahulu. Rambut panjang, kulit putih, langsing, tapi bedanya kali ini Tyas tidak terlalu tinggi.  Memang kami belum jadian, tapi akan sangat aneh sekali jika menyebut kami hanya sebatas teman.

Malam itu Tyas mengajakku bertemu untuk membicarakan sesuatu. Hubungan kami memang sedang tidak baik.

“Maaf,” Tyas sambil menatap mata saya dalam-dalam. Saya diam dan mencoba menebak-nebak kalimat selanjutnya.

“Kayaknya kita cukup sampai sini aja, kita enggak usah ketemuan lagi,” lanjutnya. Pelan, tapi sudah cukup untuk membuat kuping dan dada saya seperti meledak.

“Baik,” saya mengangguk tanpa banyak berkata-kata lagi, menjabat tangannya, kemudian berjalan pergi tanpa menengok kebelakang. Sesuai dugaan saya sebelumnya. Sesuai pertengkaran-pertengkaran kecil kami belakangan ini. Dia, - perempuan yang beberapa menit lalu masih saya jadikan prioritas utama – akhirnya memilih pergi. Kembali menjalin hubungan dengan mantan  pacarnya,.. seorang fans Barcelona.

Saat ini saya memang sudah memaafkan mantan gebetan saya itu. Saat ini juga saya sudah 200% move on dan tidak peduli dengannya. Namun saya tak habis pikir. Kenapa Barcelona, - dan hal-hal yang berhubungan dengannya bisa menghadirkan 3 kali kesialan dalam hidup saya?

Untungnya sekarang saya sudah punya pacar baru. Namanya Adis. Berbeda dengan wanita-wanita sebelumnya, Adis berambut pendek, berkaca mata, tidak terlalu putih, juga tidak kurus, walaupun akan keterlaluan jika menyebutnya gemuk. Dan ternyata, Adis juga seorang fans Real Madrid.

Bukankah dendam harus dibalas?

Wednesday 11 November 2015

Lalu Bagaimana

Ada orang bijak pernah berkata bahwa kadang kita tidak bisa bersama dengan yang dicinta.
Merelakan yang dicintai pergi, sedang batin dan raga tak sanggup melepasnya.
Kondisi yang beberapa orang sering alami dalam kehidupannya.

Tapi maaf, aku tidak bisa.
Aku tidak bisa untuk melupakanmu.
Aku tidak bisa merelakan seseorang yang tidak bisa tergantikan.
Aku tidak sanggup bila itu bukan kamu.

Bagiku kamu adalah segalanya
Aku tak tahu apa yang bisa kuperbuat tanpamu
Kamu membuatku lebih baik
Kamu menjadikanku pria yg lebih baik

Kamu bagaikan kabut yang menyelubungiku dari hal-hal buruk disekitar. Ngomong-ngomong soal kabut, tahukah kamu jika polusi asap di Indonesia adalah pencemaran udara oleh kabut dan asap yang terjadi akibat kebakaran hutan di provinsi Riau, Jambi dan Sumatra Selatan di Pulau Sumatra dan juga Pulau Kalimantan, Indonesia dari Juni 2015. Pada 14 September 2015, keadaan darurat ditetapkan di provinsi Riau dikarenakan tingkat pencemaraan yang melebihi batas berbahaya. Dilaporkan ribuan warga terpaksa keluar dari ibukota Pekanbaru terutama anak-anak dan ibu hamil.
Selain di Sumatra, kabut asap juga dirasakan di Kalimantan, Singapura, dan Malaysia. Kombinasi kebakaran hutan dan musim kemarau menyebabkan polusi asap terjadi hampir setiap tahun di Indonesia, terutama di provinsi-provinsi yang pembakaran lahan ilegal dilakukan secara rutin untuk melakukan peladangan. Pembebasan lahan untuk ditanami kelapa sawit merupakan salah satunya. Hampir sepanjang tahun hal ini berkontribusi besar pada jumlah polusi yang dihasilkan.

Lalu bagaimana?

Apakah aku berhutang maaf pada kalian? Iya, kalian yang telah membaca tulisan ini dari awal. Mungkin kalian merasa kecewa, kesal, terlanjur berharap ini adalah tulisan tentang keresahan seperti sebelum-sebelumnya.

Mungkin kalian bisa sedikit merasakan apa yang dia rasakan selama ini atas apa yang sudah aku lakukan terhadapnya. Aku memberinya harapan-harapan, melambungkannya tinggi, hingga akhirnya kuhempaskan begitu saja  ke tanah. 

Sungguh aku tak berniat melakukan itu semua. Aku masih terlalu muda, masih naif. Aku kira aku bisa memberimu segalanya seperti yang sudah kujanjikan. Tapi ternyata itu semua terlalu besar, terlalu berat. Aku tak sangup memenuhi janjiku. Dan akhirnya malah aku pergi begitu saja seperti pengecut.

I’m sorry I did not mean to hurt my little girl
It’s beyond me, I can not carry the weight of the heavy world
So much to love
So much to learn
But I won’t be there to teach you
I know I can be close
But I try my best to reach you
Maroon 5 – Goodnight Goodnight

Lalu bagaimana caraku meminta maaf kepadamu?
Lalu bagaimana tentang kita? 

Monday 9 November 2015

Days of D

Aku sedang merindukan perempuan ini. Senyumnya, tawa renyahnya, tatapan matanya, cerita-cerita lucunya, semuanya.
Aku kembali mengingat mata teduh itu. Mata teduh yang sama dengan saat pertama kalinya kulihat. Mata yang membuatku jatuh cinta dengan selengkung senyum cantik yang membuatku merasa dunia ini sudah indah tanpa perlu surga.

Kenyataannya memang aku telah jatuh cinta. Kenyataannya pula dia, perempuan yang kukagumi dan kucintai sepenuh hati itu ternyata memang tak dilahirkan untukku. Dia telah menambatkan hatinya pada hati yang lain, yang mungkin saja mencintai dia dengan cara yang lebih baik dari caraku.

Aku tak pernah peduli dengan segala macam teori tentang cinta. Bagiku tiap orang punya cara sendiri untuk memaknai apa artinya mencintai. Tak terhitung banyaknya buku yang kubaca, film yang kutonton dan cerita yang kudengar tentang kisah-kisah cinta. Nyatanya mereka semua menikmati cinta dengan pemaknaan yang berbeda. Cinta adalah airmata, cinta adalah nafsu, cinta adalah sayang yang teramat sangat, cinta adalah cemburu, cinta adalah kebodohan yang dinikmati bersama-sama, cinta adalah ego, cinta adalah hidup, dan sebagainya, dan sebagainya.

Saya menyukai apa yang pernah dikatakan oleh Nietzsche, “There is always some madness in love, but there is also some reason in madness”
Kamu yang lebih dari cantik, kamu yang diam-diam membuat saya rindu, kamu yang membuat hal-hal kecil terlihat seru dan menyenangkan, kamu yang membuat saya merasa cukup.
Tapi ini bukan cerita tentang jatuh cinta.
Seandainya kamu tahu
Betapa berharganya senyum itu
Saya yakin kamu tidak percaya
Terlalu sering saya bicara seperti ini
Kamu, senyum, cantik, sempurna, segalanya
Tapi saya akan ulangi sekali lagi
Tentang betapa jatuhnya saya.
Saya bosan mengungkit-ungkit pengorbanan. Saya juga tak mau membahas perjuangan. Saya tahu persis kapan harus mundur dan kapan harus maju terus. Itu saja sudah cukup. Memang ada rasa kecewa dan sakit yang luar biasa.

Tentu saja saya tahu, cinta tak bisa dipaksakan. Saya sangat sadar, cinta butuh waktu dan kesempatan.
Dan untuk saya, waktu dan kesempatan itu sudah habis. Hari-hari tentangmu juga sudah harus berakhir.
Yang jelas mulai saat ini, saya harus terbiasa dengan kesendirian.
Happy New Life, D.
I really do hope that you’re happy.

Sunday 20 September 2015

Aku Kira Aku Mendengarmu Memanggil Namaku

Hari sudah mendekati maghrib, suasana kantornya sudah sangat sepi. Aku memilih duduk di teras, bukan di lobby kantornya. Tentu agar tetap bisa merokok. Kau tahu? Selain makanan pedas, menunggu dalam kesendirian adalah hal yang paling kubenci. Ada 2 cara agar waktu menunggu jadi sedikit tidak terasa. Yang pertama tentu saja merokok, yang kedua mendengarkan musik. Sebatang rokok kunyalakan, sebelah earphone kutancapkan ke lubang telinga kanan. Di dalam ruang dengarku, suara Adam Levine pelan-pelan merambat ke simpul otak.

Please, don’t see..
Just a boy caught up in dreams and fantasies..

Kuberitahu satu hal lagi. Selain makanan pedas dan menunggu dalam kesendirian, masa lalu adalah hal nomor tiga yang paling kubenci. Oke. Baik. Mungkin tidak seperti itu. Karena kebencianku sebenarnya hanyalah pada hal-hal yang berhubungan dengan penyesalan. Aku membenci penyesalan, dan tak habis pikir dengan orang-orang yang menjalani hidupnya dengan meratap dan menyesal. Tak pernah ada kata menyesal dalam kamus hidupku. Yang sudah biarlah sudah, yang lewat biarlah lewat, yang gagal bisa kita perjuangkan lagi, yang menemui jalan buntu berarti bukan takdir kita, dan.. ya kira-kira seperti itulah. Kecewa boleh, menyesal jangan. Kurang lebih demikian dalam kalimat lebih singkat.

Sekarang kuceritakan kenapa aku berada di tempat ini. Di teras sebuah bank di sekitaran Pasar Gedhe, jam saat jalanan Solo sedang lucu-lucunya, dan ufuk barat sedang cantik-cantiknya. Seperti yang tadi kukatakan, aku sedang menunggu. Perempuan, mantan pacarku, yang lucunya mungkin sama dengan jalanan Solo saat ini, namun cantiknya mengalahkan ufuk barat kali ini.
Pagi tadi dia mengirim pesan dan meminta tolong kepadaku untuk menjemputnya pulang. Mobilnya rusak dan sedang masuk bengkel.
Sebenci-bencinya aku dengan makanan pedas, menunggu dalam kesendirian, dan berurusan dengan penyesalan atau masa lalu, toh aku belum sanggup mengatakan tidak kepada mantan pacarku yang satu ini. Akhirnya dengan berat hati, namun tetap dengan lagak sok cool, akhirnya kututup percakapan dengan dua huruf : OK. Cuma OK. Tanpa embel-embel moji, emotikon, atau bahkan titik.
OK   

Suara langkah kaki dan colekan kecil di pundak menghentikan lamunanku. Seperti yang sudah kukira, mantan pacarku masih lucu dan cantik. Meski senyumnya kali ini tentu saja berbeda dengan senyumnya saat dulu kami masih bersama. Tak ada jabat tangan, tak ada peluk, dan tanpa cium pipi. Hanya senyuman yang mau tak mau tetap membuatku membalasnya.
“Yuk,” ucapnya singkat.
Aku berjalan menuju tempat motorku diparkir. Api rokok di tanganku semakin mendekati pangkalnya. Suara Adam Levine di telingaku mendekati akhir lagu. Perlahan aku ikut bersenandung mengikuti suara falsetnya. “And I thought I saw you out there crying.”
And I thought I heard you call my name.” sambungnya.

Saturday 12 September 2015

Kenapa Kamu Meneleponku Hanya Pada Saat Kamu Sedang Mabuk

Berita baiknya adalah, kini aku tak lagi sendiri.

Gadis ini, Dia cantik tentu saja. Tapi bukan cantik yang benar-benar langsung membuatmu jatuh cinta pada pandangan pertama. Butuh cukup waktu untuk memberanikan diri berkenalan dengannya, mengobrol beberapa lama, menyelami pikirannya perlahan, membahas hal-hal penting sampai tidak penting, hingga kemudian otakmu menyimpulkan kalau dia bukan saja cantik, tapi juga luar biasa. Kemudian aku mengatakan cinta. Selesai. Detik setelah itu aku sudah bisa menganggapnya sebagai pacar.

Berita buruknya adalah, sudah satu minggu lebih kami tidak saling tegur.

Bukankah aneh, jika sepasang kekasih yang sudah bersama berminggu berbulan tapi sudah tidak saling menyapa.

Kalau diurut lagi dari awal, mungkin memang sebenarnya ini semua salahku. Beberapa berat untukku. Aku bukan tipe lelaki yang suka menceritakan masalahnya pada kekasihnya, aku minggu terakhir memang minggu yang lebih suka membagi cerita bahagia daripada cerita sedih. Seberat apapun masalah, aku lebih suka menyelesaikannya sendiri. Tapi terkadang, aku sering meminta bantuan temanku. The name is Daniels, Jack Daniels.

Aku memang punya masalah dengan alkohol, alkohol menjadi ujung jawaban untuk masalah-masalah yang kuterima. Kekasihku, tentu saja sangat tidak suka dengan kebiasaan buruk yang aku miliki ini. Dan itu pun yang menjadi sumber pertengkaran kami.

Jadilah malam minggu ini aku sendiri.

Tidak sepenuhnya sendiri sih. Masih ada ranjang empuk, aroma teh hijau dari lilin aromatherapy, pemandangan lampu kerlap-kerlip dari balik jendela, suara Alex Turner dari speaker di atas meja, dan tentu saja sebotol Jack Daniels.

Entahlah sudah berapa gelas yang kuhabiskan malam ini, tapi yang jelas aku belum terlalu mabuk dan masih menyadari jika botolku masih setengah. Aku berdiri dari atas sofa, tapi tiba-tiba saja bumi terasa bergoyang, aku seperti sedang berada di atas kapal. Kakiku lemas, aku tak dapat lagi menahan berat badanku sendiri. Kemudian, aku pun terjatuh.

Mataku mulai terpejam, pikiranku mulai melayang-layang. Sampai kemudian terdengar suara ketukan dipintu.
Aku membuka mata. Suara Alex Turner menyanyikan Why’d You Only Call Me When You’re High  sudah sampai di bagian refrain. Aku mengucek-ucek mata. Yang tadinya kabur perlahan jelas. Aku memeriksa sekitar. Anehnya, aku sudah kembali duduk di sofa. Tangan kanan memegang handphone, dan tangan kiri menggengam fotonya yang sebelumnya kuletakan terbalik di atas meja.
Aku berjalan gontai menuju pintu dan membukanya..
Dia sudah berdiri di depan pintu!