Thursday 12 November 2015

Sweet As Revenge

Babak kedua. Injury time. Lebih kurangnya 90+3 menit.

Bola dari corner kick David Beckham langsung disambut Ole Gunnar Solskjaer dan mengguncang gawang Oliver Kahn. Separuh stadion bergemuruh, separuhnya tertunduk, sisanya terdiam takjub seakan tidak percaya. Solskjaer berteriak histeris dan berlari ke pinggir lapangan, sebelum akhirnya staf dan pemain-pemain di bangku cadangan ikut menyerbu dan memeluknya. Di depan gawangnya, Peter Schmeichel tersenyum melihat kejadian itu dari jauh.

Di kubu lawan, Samuel Kuffour tak bisa menyembunyikan tangisnya. Lothar Matthaeus, pemain yang sudah diganti di menit 80 tak kalah terpukul. Memang sulit dipercaya. Gol cepat Mario Basler di menit ke enam jadi sia-sia akibat gol Sheringham dan Solskjaer di injury time. Pierluigi Collina meniup peluit tanda permainan harus dilanjutkan. Tapi mental para pemain Bayern Munchen sudah hancur lebur. Keadaan tak berubah sampai peluit akhir usai. Pemain dan pendukung Bayern Munchen hanyut dalam air mata. Secara dramatis, Manchester United menjadi juara Liga Champions 1998-1999.

Itu kejadian saat saya masih kecil.

Pertandingan yang saya tonton bersama Ayah, orang yang mengenalkan saya pada bola, mempengaruhi saya agar menjadi pendukung Manchester United. Hal-hal itu berhasil, saya mulai tertarik pada sepakbola dan menyukai Manchester United.
Saya tumbuh besar bersama Manchester United. Saya masih ingat jersey Manchester United pertama yang dibelikan oleh ayah, nomor 19 milik Dwight Yorke.
Saat SMA, saya memiliki kekasih. Namanya Linda. Kulitnya putih, rambut panjang, perawakannya langsing dan cukup tinggi untuk wanita seumurannya. Dia fans Barcelona, pada saat itu Barcelona memang sedang jaya. Tapi kisahku bersama Linda tak berakhir bahagia, dia meninggalkanku begitu saja. Saya marah, saya kesal, saya kecewa, saya patah hati. Kemudian saya mulai membenci hal-hal yang disukainya, dan saya pun mulai menyimpan dendam.

Malam menjelang subuh, beberapa hari setelah saya putus dengan Linda.
Saya menatap layar Televisi di ruang keluarga, gambar yang ditampilkan belum bisa saya lupakan hingga sekarang. Pertandingan final Liga Champions.

Barcelona 2-0 Manchester United
Eto’o 10’, Messi 20’

Entahlah. Wajah Linda, orang yang beberapa hari lalu memutuskan hubungan kami secara sepihak itu seperti ada dilayar dan tertawa terbahak-bahak. Bersorak-sorak atas kemenangan Barcelona. Tentu saja ini sangat menyebalkan untuk saya.

Ini adalah dendam pertama saya kepada Barcelona.

Dua tahun berlalu, Manchester United kembali mencapai final Liga Champions. Saat itu pertandingan diselenggarakan di stadion Wembley, stadion yang dibanggakan rakyat Inggris.  Bermain dirumah sendiri tentu saja akan memotivasi pemain-pemain Manchester United, apalagi pada final sebelumnya mereka dikalahkan lawan yang sama. Barcelona.

Bukankah dendam harus dibalas?

Tapi kenyataan berkata lain. Di rumah sendiri, Manchester United kembali menelan kekalahan.

Barcelona 3-1 Manchester United
Pedro, Messi, Villa – Rooney

Tiga gol Barcelona cuma bisa dibalas sekali oleh Rooney. Kecewa dan sakit hati. Ini menjadi dendam saya yang kedua.

Saat saya duduk dibangku kuliah, perlahan saya juga mulai menyukai Real Madrid. Selain karena Real Madrid adalah musuh bebuyutan Barcelona, pemain idola saya di Manchester United yaitu Cristiano Ronaldo juga telah pindah ke Real Madrid. Pada saat itu saya juga telah mempunyai gebetan baru, namanya Tyas. Masih setipe dengan mantan pacar yang terdahulu. Rambut panjang, kulit putih, langsing, tapi bedanya kali ini Tyas tidak terlalu tinggi.  Memang kami belum jadian, tapi akan sangat aneh sekali jika menyebut kami hanya sebatas teman.

Malam itu Tyas mengajakku bertemu untuk membicarakan sesuatu. Hubungan kami memang sedang tidak baik.

“Maaf,” Tyas sambil menatap mata saya dalam-dalam. Saya diam dan mencoba menebak-nebak kalimat selanjutnya.

“Kayaknya kita cukup sampai sini aja, kita enggak usah ketemuan lagi,” lanjutnya. Pelan, tapi sudah cukup untuk membuat kuping dan dada saya seperti meledak.

“Baik,” saya mengangguk tanpa banyak berkata-kata lagi, menjabat tangannya, kemudian berjalan pergi tanpa menengok kebelakang. Sesuai dugaan saya sebelumnya. Sesuai pertengkaran-pertengkaran kecil kami belakangan ini. Dia, - perempuan yang beberapa menit lalu masih saya jadikan prioritas utama – akhirnya memilih pergi. Kembali menjalin hubungan dengan mantan  pacarnya,.. seorang fans Barcelona.

Saat ini saya memang sudah memaafkan mantan gebetan saya itu. Saat ini juga saya sudah 200% move on dan tidak peduli dengannya. Namun saya tak habis pikir. Kenapa Barcelona, - dan hal-hal yang berhubungan dengannya bisa menghadirkan 3 kali kesialan dalam hidup saya?

Untungnya sekarang saya sudah punya pacar baru. Namanya Adis. Berbeda dengan wanita-wanita sebelumnya, Adis berambut pendek, berkaca mata, tidak terlalu putih, juga tidak kurus, walaupun akan keterlaluan jika menyebutnya gemuk. Dan ternyata, Adis juga seorang fans Real Madrid.

Bukankah dendam harus dibalas?

No comments:

Post a Comment