Sunday 24 January 2016

Siang Hari

“Kalungnya bagus,” ucap ku sambil tersenyum.

 Mataku bergerak ke kalung yang menempel tepat di atas dadanya. Perempuan cantik yang duduk di depanku itu menghisap rokoknya dalam-dalam, menghembuskan asapnya dengan nikmat. Samar aroma menthol memenuhi udara.

“Kau tahu,” ujarnya.
“Baik buruknya perempuan sebenarnya bisa dilihat dari matanya. Tapi sayang kebanyakan pria lebih memperhatikan dada.”

“Oh ya?” tanyaku. Buru-buru aku mengalihkan pandangan.

Namanya Tyas. Tyas sudah menjadi sahabatku semenjak semester pertama kuliah, hingga kini kami sudah memasuki semester akhir. Kebanyakan orang pasti merasa heran jika tahu kami cuma berteman, tapi memang begitulah kenyataannya. Kami cuma merasa aneh jika kisah persahabatan bertahun-tahun ini harus berubah menjadi kisah percintaan sepasang lelaki dan perempuan.

Semacam ada kesepakatan tak tertulis diantara kami berdua bahwa kami tidak akan berpacaran. Selain itu juga ada hal lain yang membuat kami tidak bisa bersama. Bahwa Tyas sudah memiliki kekasih, dan hal lain yang lebih rumit. Kami berbeda agama. Tyas seorang Katholik taat, dan saya walaupun bukan seorang Muslim yang taat, tahu jika hal seperti ini akan menjadi masalah yang rumit di masa yang akan datang.

Malam itu di kedai kopi langganan kami di daerah Mangkunegaran, Tyas curhat tentang pacarnya. Dia baru putus.

“Begitulah,” dia tersenyum tipis tanpa beban.
“Kami sudah berpacaran hampir dua tahun. Yang terlama dibanding pacar-pacarku sebelumnya. Pacaran jarak jauh, komunikasi tiap hari cuma lewat telepon dan video call, kangen-kangena dan berantem juga jarak jauh.”

“Tapi menurutku Solo-Jogja bukan LDR.” Potong ku.

“Kok bisa?”

“Disebut LDR jika dan hanya jika jarak dua kota memakan waktu 6 jam lebih perjalanan darat, atau lebih dari 500ribu untuk tiket pesawat.”

Dia tersenyum.
“Jarak ternyata memang bisa menjadi musuh berbahaya ya?”

“Sama sekali tidak,” aku menggeleng tegas. “Musuh terbesar sebuah hubungan adalah curiga dan rasa tidak percaya.”

“Teorinya memang seperti itu. Mengatakannya memang mudah, tapi menjalaninya sama sekali tidak mudah.”

“Aku enggak bilang itu mudah sih..”

“Sulit,” bibirnya yang basah kembali menghembuskan asap beraroma menthol.
“Mejalaninya lebih sulit. Faktanya, kedekatan psikologis ternyata memang membutuhkan kedekatan fisik.”

Sebuah nada dering kemudian terdengar. Ada panggilan masuk di handphone-nya. Dari sudut mataku kulihat dia hanya diam memandangi nama yang tertera di layar, sebelum kemudian jarinya menekan tombol reject.

“Mantan pacar kamu?”

Dia mengangguk.
“Dia selau begitu. Kembali disaat yang tidak tepat. Hanya untuk meminta maaf dan mengatakan hal-hal yang tidak penting.”

“Apa susahnya memberi maaf?”

“Ini lebih dari itu. Kamu enggak akan mengerti.” Dia kemudian mematikan rokok mentholnya.
“Kita cari tempat ngobrol lain yuk?”

“Dimana?”

“Ke kosan kamu aja, yuk? Aku capek, ngantuk, pengen rebahan.”

“Kamu mau ke kosanku?”

“Iya. Kayaknya sekalian nginep deh. Aku males pulang.”

“Kamu mau nginep di kosanku?”

“Iya. Gimana?”

Secepat kilat setan di kepalaku mengirim sinyal yang menyuruhku mengangguk dan bilang iya. Aku menggenggam tangannya. Dari speaker kedai kopi, suara Adam Levine terdengar melengking di entah refrain keberapa. Biasanya aku benci lagu ini. Tapi kali ini tidak.


And then when the daylight comes I’ll have to go
But tonight I’m gonna hold you so close
Cause in the daylight we’ll be on our own
But tonight I need to hold you so close











Mungkin Nanti

Sebelum mulai bercerita, ada baiknya saya menyampaikan beberapa hal kecil ini. Orang bilang saya terlalu lemah pada perempuan. Mereka bilang saya terlalu mudah jatuh cinta. Beberapa sisanya bilang saya tidak bisa membedakan sayang, perhatian berlebih, nafsu, dan cinta.

Sebenarnya saya tidak pernah benar-benar paham makna semua itu tadi. Kalian boleh saja menganggap saya tidak pernah mengerti arti cinta sesungguhnya. Tapi lantas kenapa? Kalau saya dan perempuan yang saya cintai saling memberi dan menjaga hati, bukankah hal-hal lain bisa dipikirkan belakangan? Dengan cinta, kita bisa lakukan semua. Dengan cinta, tak ada yang tak seru. Semua kita jalani bersama. Pahit manisnya, hitam putihnya, baik dan buruknya. Sesederhana itulah pemikiran saya tentang cinta.

Hingga malam itu pacar saya mengajak bertemu. Sebenarnya ini bukanlah hal yang luar biasa kalau di malam minggu seperti ini dia mengajak saya bertemu. Biasanya kami menonton film di bioskop, sering juga cuma sekedar makan malam sederhana di rumahnya, lalu menonton film, dan begitu jarum menunjuk angka 10, saya pun berpamitan pulang.

Tapi kali ini beda. Dia mengajak saya bertemu di toko kaset. Saya sering sekali lewat daerah sini, tapi entah kenapa baru sekarang saya sadar kalau disini ada toko kaset.

“Kenapa semalam enggak menelepon?” pacar saya akhirnya membuka pembicaraan.
“Aku banyak kerjaan, sayang.”
“Tapi pulsa juga banyak, kan?”
“Semalam aku menelepon kok. Kamu sudah tidur.”
“Kenapa enggak telepon lebih awal?”
“Oh. Jadi ini yang bikin kamu seharian jadi diem gak jelas?”
“Yang enggak jelas itu kamu!”

Oke. Ini dia. Pacar saya yang tukang ngambek ini mengeluarkan kalimat-kalimat yang menjurus kearah pertengkaran kecil dan tidak penting. Tidak, tidak. Saya tidak boleh terpancing. Saya harus membujuknya. Saya harus meminta maaf. Mengajaknya makan mungkinlah hal yang bagus. Siapa tahu setelah kenyang dia berkurang marahnya.

“Kita makan dulu, yuk?”
“Enggak mau.”

Rupanya dia setingkat lebih ngambek sekarang.

“Kita makan nasi goreng, yuk?”
“Nggak.”
“Ayam bakar deh.”
“Nggak.”
“Roti bakar! Roti bakar!”
“Nggak.”
“Ceker dherr?”
“!@#$%^&*”

Jadi inilah akhirnya. Pacar saya yang cantik, tukang ngambek, dan suka membuat orang bingung itu balik kanan, kemudian berjalan meninggalkan saya yang kebingungan tanpa sepatah kata pun.

“Saatnya ku berkata. Mungkin yang terakhir kalinya.”

Ah ya. Toko kaset ini memutar lagu yang tepat disaat yang kurang tepat. Ini lagunya Peterpan bukan? Kalau tidak salah lagu ini muncul sekitar tahun 2004, atau 2005 ya? Saya tidak ingat.

“Lagu ini,” tanyaku pada gadis yang sedari tadi berdiri dibalik meja kasir. “Apa judulnya?”
“Mungkin Nanti, Peterpan.”
“Hmm..”
“Mungkin saja kau bukan yang dulu lagi,” gadis itu bersenandung pelan mengikuti lagu.
“Mungkin saja rasa itu telah pergi,” lanjutku sambil tersenyum.

Aku membalikan badan dan mulai berpikir untuk mengejar pacarku yang mungkin belum jauh dari sini. Masih terdengar jelas suara gadis penjaga kasir itu menyanyikan bait pertama reff lagu Mungkin Nanti.


“Dan mungkin bila nanti, kita kan bertemu lagi.”