Sunday 24 January 2016

Mungkin Nanti

Sebelum mulai bercerita, ada baiknya saya menyampaikan beberapa hal kecil ini. Orang bilang saya terlalu lemah pada perempuan. Mereka bilang saya terlalu mudah jatuh cinta. Beberapa sisanya bilang saya tidak bisa membedakan sayang, perhatian berlebih, nafsu, dan cinta.

Sebenarnya saya tidak pernah benar-benar paham makna semua itu tadi. Kalian boleh saja menganggap saya tidak pernah mengerti arti cinta sesungguhnya. Tapi lantas kenapa? Kalau saya dan perempuan yang saya cintai saling memberi dan menjaga hati, bukankah hal-hal lain bisa dipikirkan belakangan? Dengan cinta, kita bisa lakukan semua. Dengan cinta, tak ada yang tak seru. Semua kita jalani bersama. Pahit manisnya, hitam putihnya, baik dan buruknya. Sesederhana itulah pemikiran saya tentang cinta.

Hingga malam itu pacar saya mengajak bertemu. Sebenarnya ini bukanlah hal yang luar biasa kalau di malam minggu seperti ini dia mengajak saya bertemu. Biasanya kami menonton film di bioskop, sering juga cuma sekedar makan malam sederhana di rumahnya, lalu menonton film, dan begitu jarum menunjuk angka 10, saya pun berpamitan pulang.

Tapi kali ini beda. Dia mengajak saya bertemu di toko kaset. Saya sering sekali lewat daerah sini, tapi entah kenapa baru sekarang saya sadar kalau disini ada toko kaset.

“Kenapa semalam enggak menelepon?” pacar saya akhirnya membuka pembicaraan.
“Aku banyak kerjaan, sayang.”
“Tapi pulsa juga banyak, kan?”
“Semalam aku menelepon kok. Kamu sudah tidur.”
“Kenapa enggak telepon lebih awal?”
“Oh. Jadi ini yang bikin kamu seharian jadi diem gak jelas?”
“Yang enggak jelas itu kamu!”

Oke. Ini dia. Pacar saya yang tukang ngambek ini mengeluarkan kalimat-kalimat yang menjurus kearah pertengkaran kecil dan tidak penting. Tidak, tidak. Saya tidak boleh terpancing. Saya harus membujuknya. Saya harus meminta maaf. Mengajaknya makan mungkinlah hal yang bagus. Siapa tahu setelah kenyang dia berkurang marahnya.

“Kita makan dulu, yuk?”
“Enggak mau.”

Rupanya dia setingkat lebih ngambek sekarang.

“Kita makan nasi goreng, yuk?”
“Nggak.”
“Ayam bakar deh.”
“Nggak.”
“Roti bakar! Roti bakar!”
“Nggak.”
“Ceker dherr?”
“!@#$%^&*”

Jadi inilah akhirnya. Pacar saya yang cantik, tukang ngambek, dan suka membuat orang bingung itu balik kanan, kemudian berjalan meninggalkan saya yang kebingungan tanpa sepatah kata pun.

“Saatnya ku berkata. Mungkin yang terakhir kalinya.”

Ah ya. Toko kaset ini memutar lagu yang tepat disaat yang kurang tepat. Ini lagunya Peterpan bukan? Kalau tidak salah lagu ini muncul sekitar tahun 2004, atau 2005 ya? Saya tidak ingat.

“Lagu ini,” tanyaku pada gadis yang sedari tadi berdiri dibalik meja kasir. “Apa judulnya?”
“Mungkin Nanti, Peterpan.”
“Hmm..”
“Mungkin saja kau bukan yang dulu lagi,” gadis itu bersenandung pelan mengikuti lagu.
“Mungkin saja rasa itu telah pergi,” lanjutku sambil tersenyum.

Aku membalikan badan dan mulai berpikir untuk mengejar pacarku yang mungkin belum jauh dari sini. Masih terdengar jelas suara gadis penjaga kasir itu menyanyikan bait pertama reff lagu Mungkin Nanti.


“Dan mungkin bila nanti, kita kan bertemu lagi.”

No comments:

Post a Comment