Friday 19 September 2014

Laut dan D



Saya menyukai laut.

Dengan matahari terbenam, langit, pantai, pasir, perahu, karang, kursi meja berpayung, dan semua yang selalu menyertai laut.

Saya menyukai laut seperti saya mengagumi dia.

Di dalam hati saya, laut dan dia selalu menari dengan sama cantiknya. Saya tak bisa memisahkan keduanya. Laut selalu mengingatkan saya pada dia. Dia mengingatkan saya akan laut.

Sudah sering sekali saya mengatakan ini. Saya selalu kesulitan setiap kali diminta mengungkapkan, menuliskan, atau melukiskan betapa cantiknya dia. Karena saya tak terlalu pandai bicara, hanya sedikit bisa menulis, dan sama sekali tak ada bakat menggambar, apalagi melukis.

Jadi, kalau ingin tahu tentang bagamana cantiknya dia, cukup bayangkan bagaimana indahnya hamparan birunya laut, pasir putih, langit jeruk, semburat awan, dermaga kecil, kepak camar, dan lain-lainnya yang kemudian membentuk satu harmoni utuh dan menenangkan.

Itulah yang dia punya. Cantik, indah dan teduh yang menenangkan.

Thursday 18 September 2014

Kamis Siang



Jadi begini, Sayang..” ucapku pada perempuan yang duduk di depanku. Seperti dulu, dia tersenyum malu-malu, namun tetap cantik. “Aku..”

“Sebentar,” potongnya. Bibirnya tetap tersenyum. Matanya tetap memandang lurus ke arah mataku. “Kenapa masih manggil sayang?” lanjutnya. “Kita sudah sepakat enggak ada apa-apa lagi kan sekarang?”

“Oke. Maaf,” balasku singkat. Tak ada waktu untuk berdebat lebih jauh lagi perkara panggilan sayang ini. “Begini.. Waktuku enggak banyak. Jadi tolong. Toloong banget. Dengerin sebentar.”

Dia mengangguk.

“Jadi begini, Diz. Aku tahu ini terdengar gila dan agak tak masuk akal,” lanjutku. Tapi pasti kamu percaya.”

“Udah buruan jelasin!”

“Oke. Kamu udah nonton Days of Future Past?”

“Udah.”

“Kalau Edge of Tomorrow?”

“Film Tom Cruise yang kalau dia mati, dia balik lagi ke masa lalu? Udah juga..”

“Nah!” ujarku seraya menjentikan jari. “Jadi aku enggak perlu menjelaskan panjang lebar lagi bahwa aku datang dari masa depan untuk memperbaiki sesuatu. Aku datang dari masa depan cuma untuk ketemu kamu.”

“Baik! Balasnya. “Aku juga akan mencoba langsung percaya. Next, apa tujuan kamu balik ke sini cuma buat ketemu aku? Mau minta maaf? Ngajak balikan?”

“Bukan..”

“Lalu?”

“Aku pengen bantuin kamu. Kamu ingat gak pernah bilang ke aku kalau cinta itu harus dicari?

“Ingat. Terus? Apa hubungannya sama kamu mau bantuin aku?” Dia menatapku kesal.

“Kamu salah. Cinta itu bukan dicari, tapi diraih.” Balasku mengimbangi nada bicaranya yang meninggi.
“Di masa depan,” sambungku. “Aku akhirnya jadian sama mantan gebetanku yang anak Bahasa Inggris. Setelah sekian kali gagal, aku akhirnya bisa dapetin dia.”

Dia menatapku sebentar. Lalu memalingkan wajahnya sambil menghela nafas.

“Di masa depan, kamu masih saja terus terusan mencari tanpa mendapatkan hasil.” Ucapku pelan.
“Cinta hanya tentang saling menemukan, Diz.”

“Tapi bagaimana kalau keduanya sama-sama ingin ditemukan? Siapa yang akan mencari?”

“Kadang cinta cuma tentang menunggu waktu yang tepat.”

“Kalau bisa menunggu, kenapa harus mendatangi?”

“Kalau bisa mendatangi, kenapa harus menunggu?”

“Maksud kamu ngajak aku ngobrol sebenarnya apa sih!”
Jelas sekali kalau dia sudah tidak mampu menahan emosinya.
“Cobalah kamu agar sedikit lebih dewasa.” Nada bicaranya turun. Campuran antara kesal dan ingin menangis.

“Diz,” ucapku pelan. Kutatap mata-nya dalam-dalam, “Liat aku.. Dengerin aku sebentar..”

Dia menurut dan mengangguk.

“Diz..” sambungku lagi. 
“Kita balikan yuk?”