Thursday 4 February 2016

Dilarang Turun Hujan

Saya duduk menatap laptop. Di depan saya, dia juga duduk menatap laptop.

Kamu tahu? Banyak orang mengatakan ini adalah waktu yang tepat untuk berselingkuh. Sore menjelang senja, di kedai kopi eksotik namun sepi yang letaknya nun jauh dari timur kota. Di luar , hujan baru saja reda. Pejalan kaki dan pemotor yang tadinya berteduh itu sudah siap melanjutkan kembali perjalanan mereka.

Saya masih duduk menatap layar laptop. Dia juga.

Saya punya kebiasaan kecil. Meski mata menuju ke laptop, earphone saya tetap tertancap ke handphone dan memutar musik dari sana. Kali ini album X&Y Coldplay. Baru track 3, White Shadows. Kalau kau hafal tracklist album ini, lagu yang disebut-sebut punya lirik tulus dan dalam itu akan jadi track berikutnya. Benar. Lagu yang liriknya seringkali dikutip dan dituliskan di gambar-gambar pemandangan itu. Tak perlu saya sebutkan judul lagunya kan?

Kemudian barista ramah itu datang lagi. Membawa seporsi roti bakar dengan aroma madu yang menggugah selera.

Saya mencuri pandang. Sedikit. Ke layar iPod kamu yang ternyata juga sedang memutar Coldplay, meski bukan lagu yang sama dengan lagu yang saya dengar sekarang.

Seperti juga saya, ternyata kamu punya kebiasaan tak jauh berbeda. Mata dan jari-jari sibuk dengan laptop, namun earphone memutar musik dari gadget lain.

Saya mengambil sebatang rokok, kemudian menyalakannya. Selang lima detik, kamu juga melakukan hal yang sama. Aroma tembakau dan menthol meruap ke udara. Bercampur samar aroma hujan, harum kopi, dan wangi madu.

Saya tersenyum, kamu juga tersenyum. Entah apa yang saya dan kamu sedang pikirkan. Selama sekian jeda, saya dan kamu berada di canggung yang sukar dicerna.

Di luar, hujan mulai turun lagi.


Jauh di dalam hati, saya mulai mengagumi betapa cantiknya kamu. Pelan-pelan hati saya jatuh, meski kepala saya mengatakan tidak boleh lebih jauh.