Sunday 5 June 2016

Ketika Hujan

Ketika hujan, satu pesan “Hai.. Kamu apa kabar?” bisa mengacaukan segalanya.

Pernah kubaca. Kata ‘segalanya’  bisa berarti hati, move on, janji, atau apa saja. Yang jelas pasti berhubungan dengan hati dan perasaan. Entah siapa yang menulisnya. Tapi tentu saja saya tidak percaya. Lagipula belakangan ini saya sudah kehilangan kepercayaan pada kalimat-kalimat puitis nan romantis.

Memangnya apa yang romantis dari turunnya hujan?

Tidak ada.

Hujan hanya membuat genangan dimana-mana. Membuat beberapa ruas jalan menjadi macet, emperan toko mendadak jadi tempat berteduh, dan orang-orang jadi susah mau kemana-mana. Alih-alih membuatmu memikirkan mantan, hujan malah membuatmu semakin lapar, menyesal dan memaki dalam hati karena seharian kau belum makan.

Itu artinya kau hanya punya tiga pilihan: nekad menerjang hujan, menelepon layanan delivery, atau puasa sampai besok. Itupun kalau besok hujan sudah reda.

Bagaimana dengan hujan dan lagu cinta?

Percayalah. Kenyataannya juga tidak sedramatis itu. Setidaknya bagiku.
Bukan sekedar sekali dua kali aku mengalami momen kehujanan bersama mantan pacar.

Kehujanan di Mangkunegaran? Pernah!

Kehujanan di stasiun dan terminal? Pernah!

Menunggu hujan reda di emperan toko? Pernah!

Tapi toh hujan kali ini tetap saja tidak serta merta membuatku memikirkan, apalagi merindukan dia.

*tring*

Satu pesan Whatsapp masuk. Aku menatap notifikasi pesan yang tertera di layar.


“Kamu apa kabar?”


Dari speaker laptopku perlahan mengalun lagu sendu dari Melly Goeslaw.


Kata orang rindu itu indah
Namun bagiku ini menyiksa
Sejenak ku fikirkan untuk ku benci saja dirimu
Namun sulit ku membenci


Aku sekali lagi menatap pesan di layar:


“Kamu apa kabar?”


Hujan, pesan dari mantan kekasih, dan lagu cinta.
Apakah sekarang aku terpengaruh? Oh tentu saja tidak!


*tring*


Aku kembali menatap layar. Satu lagi pesan masuk.


“Saya rindu kamu”


Dan kali ini saya pun harus mengakui:

Hujan 1 – 0 Saya.




No comments:

Post a Comment