Wednesday 29 June 2016

Semesta

Semesta, aku bisa bilang apa?

Jika yang kau tunjukan padaku mentah-mentah adalah realita paling nyata.

Bahwa rasa ini tak ada harganya.

Bahwa ingin ini hanya kosong yang dijumawakan.

Sesungguhnya semua biasa saja, bias saja. Hanya soal aku dan rasaku saja. Bukan rasa yang dia punya. Dia tak punya rasa.

Dikatakan berkhianat pun tak bisa, dia tak punya rasa. Dibagikan kepada siapapun terserah saja. 

Terserah dia. Lalu aku tertawa. Tertawa bersama semesta.

Menertawakan rasaku yang tak terhingga nilainya. Rasa yang terlalu berharga untuk dibuang. Rasa untuk siapa?


Well.. tanggal itu lewat lagi, 28 Juni.


Banyak orang yang heran dengan apa yang saya lakukan. Bahwa saya terlalu sering menyebut namanya, bahwa saya masih sangat peduli kepadanya walaupun sebenarnya itu sudah sangat dilarang, bahwa saya sering menempatkan diri saya sebagai lelaki yang tidak bisa pindah.

Tapi, itulah cara saya menertawakan hidup. Itulah cara saya membuat hidup lebih seru. Bukankah saya pernah bilang kalau saya sudah 200% move on. Saya juga sadar kalau kesempatan untuk mendapatkanya lagi sudah sangat tertutup, bahkan sudah tidak ada kesempatan lagi.
Kebanyakan orang move on dengan cara yang sederhana, mencari yang baru kemudian mencoba hidup bahagia kembali. Sesederhana itu.

 Mungkin cara saya mengikhlaskan sudah berada di level berbeda. Dengan menjadikan apa yang sudah terjadi sebagai lelucon, bukan sesuatu yang harus dilupakan. Apalagi untuk dikutuk.

 What’s hurt you the most, will be your funniest joke. Sungguh tak ada sedikitpun keinginan dihati saya untuk memilikinya sekali lagi. Tapi saya tetap butuh dia, butuh dia untuk membuat saya tetap konsisten patah hati.

Dengan patah hati, saya bisa membuat banyak tulisan. Dengan patah hati, saya bisa membuat banyak lelucon. Dengan patah hati saya bisa menghasilkan kata-kata indah. Bukankah tidak ada hal sia-sia jika kita melakukan apa yang kita senangi?


Lalu aku bisa bilang apa? Kecuali menyimpan semua rasa yang kupunya untukku saja.
Bukan untuk siapa-siapa, seperti kata semesta.
Agar harganya menjadi semakin mahal untuk kujumawakan, karena rasa yang aku punya terlalu tinggi nilainya, kata semesta.

Jadi... Semesta, sampai kapan?
Sampai aku lupa bahwa aku pernah punya rindu. Meskipun itu mustahil.
Bagaimana mungkin aku melupakan sesuatu yang berasal dari hati.
Hati tak punya otak, dan hanya otak yang bersifat melupakan.

Jadi... Semesta, selamat ulang tahun.


No comments:

Post a Comment